BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika islam memasuki periode perkembangan dan memanfaatkan kebudayaan (filsafat) Yunani, ajaran islam mulai dipahami dengan semangat rasionalisme yang berbeda dengan masa awal, dimana islam dipahami dan diamalkan secara sederhana, murni,utuh dan penuh semangat. Sejak saat itu pula berkembang berbagai macam ilmu dan kebudayaan islam. Dan sejalan dengan perkembangan tersebut, pemahaman dan pengamalan islam menjadi sangat kompleks dan beragam, bahkan mulai ketidaktentuan dan secara perlahan berkembang menjadi tak terkontrol. Dalam suasana seperti itu muncullah tokoh yang terkenal dengan semangat puritanisme-nya, yaitu Ibnu Taimiyah.
Ia merupakan sosok ulama pembaharuan islam yang memiliki wawasan pemikiran yang luas dalam bidang tafsir, fiqh, al-Qur’an, dan al-Hadis. Ia juga memiliki pengaruh besar pada perkembangan pemikiran islam, khususnya pada gerakan pemurnian islam. Sebagian besar aktivitasnya dilakukan untuk memurnikan paham tauhid, membuka kembali pintu ijtihad yang telah lama mati, dan menghidupkan pemikiran-pemikiran salaf.Kerangka dasar pemikiran Ibnu Taimiyah adalah menunjukkan bahwa islam dan pembaharuan islam memerlukan suatu cara, yaitu jalan tengah dan sintetik (buatan). Pada kenyataanya , jalan tengah harus dipadukan dengan perkembangan dalam islam yang bermacam-macam tersebut dengan tetap berpegang pada ajaran pokok islam yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah yang murni, yang tidak terkontaminasi oleh budaya-budaya asing.
Ia melakukan gerakan tajdid melalui ijtihad berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, disamping memerangi Taklid, Khurafat, dan Bid’ah yang telah menyimpang dari petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya. Ibnu Taimiyah adalah ulama abad ke-8H/abad ke-14M yang membangkitkan kembali semangat ijtihad, dikenal sebagai seorang pemikir, tajam intuisi, berfikir dan bersifat bebas, setia kepada kebenaran, piawai dalam berpidato dan lebih itu penuh keberanian dan ketekunan.
Ia memilki semua persyaratan yang mengantarkannya kepada pribadi yang luar biasa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ignaz Goldziher, seorang ilmuwan barat, bahwa Ibnu Taimiyah adalah teolog muslim abad 13 dan 14 yang paling kenamaan. Ilmuwan lainnya, Mac Donald mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama yang amat terkemuka, tidak hanya sekedar guru dan hakim, sebagaimana kakek dan ayahnya namun ia juga mampu memimpin perlawanan militer terhadap bangsa mongol, demi membela tanah airnya, Syiria.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Ibnu Taimiyah?
2. Apa saja karya dan kitab – kitab Ibnu Taimiyah?
3. Bagaimana Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah?
4. Bagaimana Relevansi Pemikiran Ibnu Taimiyah dengan Zaman sekarang?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui biografi Ibnu Taimiyah
2. Untuk mengetahui karya-karya dan kitab-kitab Ibnu Taimiyah
3. Untuk mengetahui Teori Pemikiran Ibnu Taimiyah
4. Untuk mengetahui Relevansi Pemikiran dengan zaman sekarang
D. Metode Penulisan
Adapun metode dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan metode library research, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diangkat, kemudian menjadikannya sebuah makalah yang ada pada pembaca saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah yang bernama lengkap Taqayuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabiul Awwal 661 H). Ia berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayah, paman dan kakeknya merupakan ulama besar Mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku.
Karena kecerdasan dan kejeniusannya, Ibnu Taimiyah yang berusia masih sangat muda telah mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran, seperti tafsir, hadits, fiqih, matematika, dan filsafat, serta berhasil menjadi yang terbaik diantara teman-teman seperguruannya. Guru Ibnu Taimiyah berjumlah 200 orang, diantaranya adalah Syamsuddin Al-Maqdisi, Ahmad bin Abu Al-Khair, Ibn Abi Al-Yusr, dan Al-Kamal bin Abdul Majd bin Asakir.
Ketika berusia 17 tahun, Ibnu Taimiyah telah diberi kepercayaan oleh gurunya, Syamsuddin Al-Maqdisi, untuk mengeluarkan fatwa. Pada saat yang bersamaan, ia juga memulai kiprahnya sebagai seorang guru. Kedalamannya ilmu Ibnu Taimiyah memperoleh penghargaan dari pemerintah pada saat itu dengan menawarinya jabatan kepala kantor pengadilan. Namun, karena hati nuraninya tidak mampu memenuhi berbagai batasan yang ditentukan oleh penguasa, ia menolak tawaran tersebut.
Kehidupan Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada dunia buku dan kata-kata. Ketika kondisi menginginkannya, tanpa ragu-ragu ia turut serta dalam dunia politik dan urusan publik. Dengan kata lain, keistimewaan diri Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada kepiawainnya dalam menulis dan berpidato, tetapi juga mencakup keberaniannya dalam berlaga dimedan perang.
Penghormatan yang begitu besar yang diberikan masyarakat dan pemerintah kepada Ibnu Taimiyah membuat sebagian orang merasa iri dan berusaha untuk menjatuhkan dirinya. Sejarah mencatat bahwa sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa tahanan sebanyak empat kali akibat fitnah yang dilontarkan para penentangnya.
Selama dalam tahanan, Ibnu Taimiyah tidak pernah berhanti untuk menulis dan mengajar. Bahkan, ketika penguasa mencabut haknya untuk menulis dengan cara mengambil pena dan kertasnya, ia tetap menulis dengan menggunakan batu arang. Ibnu Taimiyah meninggal dunia didalam tahanan pada tanggal 26 September 1328 M (20 Dzul Qo’dah 728 H) setelah mengalami perlakuan yang sangat kasar selama lima bulan.
B. Karya dan Kitab Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah dipandang sebagai cendekiawan yang berpendirian teguh, ia menunjukan keteguhannya ketika menarik kesimpulan mengenai suatu masalah. Apabila ia sudah menyimpulkan suatu masalah, ia tidak peduli orang lain akan mendukung atau menentangnya. Ia percaya bahwa kesimpulannya bersumber pada Al-Qur’an, Sunnah, dan tradisi masyarakat muslim dimasa lampau.
Ibnu Taimiyah termasuk penulis produktif, karya tulisannya mencakup bidang akidah, fikih, tafsir, hadis, tasawuf, filsafat, hingga politik. Menurut Muhammad Farid Wajdi (editor Da’irah Al-Ma’arif Al-Islamiyah) karya ibnu Taimiyah mencapai 5000 judul. Beberapa karyanya antara lain adalah:
1) Jamu’u kalimat Al-Muslimin
2) Aqidah Ahlu As-Sunnah wa Al-Jamaah
3) Al-furqon baina Auliya Ar-Rahman wa Auliya Asy-syithan
4) Iqtidha Ash-Shirat Al-mustaqim mukhalafatu Ahli Al-Jahim
5) Ar-Risalah Al-Madaniyah Fi-majaz wa Al-Haqiqah Fi sifatilah Ta’ala
6) Arsy Ar-Rahman wa ma warada
7) An- Nubuwwat
8) Al- Jawab Ash-Shahih Liman Baddala Din Al-masih
9) Al-washiyah Al-Jami’ah Li khair ad-Dunya wa Al-Akhirah
10) Idhah Ad-Dalalah Fi umum-Ar-Risalah
Berkat pemikiran beliau gaung ijtihad mulai terdengar ditengah masyarakat muslim. Semula pemikirannya itu hanya berpengaruh pada murid terdekatnya namun akhirnya, ajaran Ibnu Taimiyah meresap pula kedalam suatu gerakan keagamaan. Di India misalnya, muncul ulama besar bernama Syah Wahyullah yang mengaku pengikut ajaran Ibnu Taimiyah, lalu pendiri gerakan wahabi di Arab Saudi, Muhammad bin Abdul Wahhab, adalah tokoh islam yang paling terpengaruh oleh pemahaman Ibnu Taimiyah, begitu juga dengan Muhammad Abduh dan Rasyid Rida (dua tokoh pembaharu di mesir). Mereka juga sangat terpengaruh oleh gerakan pemurnian akidah dan ibadah ibnu Taimiyah.
C. TEORI PEMIKIRAN EKONOMI IBNU TAIMIYAH
1. MEKANISME HARGA
Mekanisme harga adalah proses yang berjalan atas dasar gaya tarik-menarik antara produsen dan konsumen baik dari pasar output (barang) ataupun input (faktor-faktor produksi). Adapun harga diartikan sebagai sejumlah uang yang menyatakan nilai tukar suatu unit benda tertentu.
Harga yang adil merupakan harga (nilai barang) yang dibayarkan untuk suatu objek tertentu yang diberikan pada waktu dan tempat diserahkan barang tersebut. Definisi harga yang adil juga bisa diambil dari konsep Aquinas yang mendefinisikannya dengan harga kompetitif normal. Yaitu harga yang berada dalam persaingan sempurna yang disebabkan oleh supply dan demand dimana tidak ada unsur spekulasi.
Menurut Ibnu Taimiyah naik turunnya harga bukan saja dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan tetapi ada factor-faktor yang lain:
Bahwa naik dan turunnya harga tidak selalu disebabkan oleh tindakan tidak adil dari sebagian orang yang terlibat transaksi. Bisa jadi penyebabnya adalah penawaran yang menurun akibat inefisiensi produksi, penurunan jumlah impor barang-barang yang diminta atau juga tekanan pasar. Karena itu jika permintaan terhadap barang meningkat sedangkan penawaran menurun, harga tersebut akan naik. Begitu pula sebaliknya, kelangkaan dan melimpahnya barang mungkin disebabkan oleh tindakan yang adil atau mungkin juga karena tindakan yang tidak adil.
Menurut Ibnu Taimiyah dalam al-Hisbah fi al-Islam ia menyatakan:
Penawaran bisa dating dari produksi domestic dan impor. Perubahan dalam penawaran digambarkan sebagai peningkatan atau penurunan dalam jumlah barang yang ditawarkan, sedangkan permintaan sangat ditentukan oleh selera dan pendapatan. Besar kecilnya kenaikan harga bergantung pada besarnya perubahan penawaran dan atau permintaan. Bila seluruh transaksi sudah sesuai aturan, kenaikan harga yang terjadi merupakan kehendak Allah.
Tetapi kedua perubahan itu tak selalu menyatu, juga tak selalu terjadi bersamaan, permintaan menurun sementara penawaran stabil harganya akan turun dan sebaliknya. Seperti dinyatakan dalam al-Hisbah fi al-Islam, Ibnu Taimiyah menggambarkan dua perubahan itu secara terpisah.
Jika penduduk menjual barang mereka dengan cara umum yang diterima, bukan karena ketidakadilan pihaknya, harga akan menurun sebagai konsekuensi dari penurunan jumlah persediaan barang itu atau meningkat jumlah penduduk semuanya karena Allah SWT.
2. HARGA YANG ADIL MENURUT IBNU TAIMIYAH
Konsep harga yang adil pada hakekatnya telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Alquran sendiri sangat menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar, khususnya harga. Barkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw menggolongkan riba sebagai penjualan yang terlalu mahal yang melebihi kepercayaan para konsumen.
Istilah harga yang adil juga telah disebutkan dalam beberapa hadits nabi dalam konteks kompensasi seorang pemilik, misalnya dalam kasus seorang majikan yang membebaskan budaknya. Sekalipun penggunaan istilah tersebut sudah ada sejak awal kehadiran islam, Ibnu Taimiyah tampaknya orang yang pertama kali menaruh perhatian khusus terhadap permasalahan harga yang adil. Dalam membahas persoalan yang berkaitan dengan harga, ia sering kali menggunakan dua istilah, yaitu kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) dan harga yang setara (tsaman al-mitsl). Ia menyatakan, “kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan inilah esensi keadilan (nafs Al-adl)”.
Ditempat lain ia membedakan antara dua jenis harga, yakni harga yang tidak adil dan dilarang serta harga yang adil dan disukai. Ibnu Taimiyah menganggap harga yang setara sebagai harga yang adil. Oleh karena itu, ia menggunakan kedua istilah ini secara bergantian.
Konsep Ibnu Taimiyah mengenai kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) tidak sama dengan harga yang adil (tsaman al-mitsl). Persoalan tentang kompensasi yang adil atau setara (‘iwadh al-mitsl) muncul ketika mengupas persoalan kewajiban moral dan hukum. Menurutnya, prinsip-prinsip ini terkandung dalam beberapa kasus berikut:
(1). ketika seseorang harus bertanggung jawab karena membahayakan orang lain atau merusak harta atau keuntungan.
(2). ketika seseorang mempunyai kewajiban untuk membayar kembali sejumlah barang atau keuntungan yang setara atau membayar ganti rugi terhadap luka-luka sebagian orang.
prinsip umum yang sama berlaku pada pembayaran iuran, kompensasi dan kewajiban finansial lainnya. Misalnya:
(a). Hadiah yang diberikan oleh Gubernur kepada orang-orang muslim, anak-anak yatim dan wakaf.
(b). Kompensasi oleh agen bisnis yang menjadi wakil unuk melakukan pembayaran kompensasi.
Dalam mendefinisikan kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl), Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kesetaraan adalah jumlah yang sama dari objek khusus dimaksud, dalam pemakaian yang umum (urf). Hal ini juga terkait dengan tingkat harga (si’r) dan kebiasaan (‘adah). Lebih jauh, ia mengemukakan bahwa evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang adil didasarkan atas analogi dan taksiran dari barang tersebut dengan barang lain yang setara.
Ibnu Taimiyah membedakan antara legal-etik dengan aspek ekonomi dari suatu harga yang adil. Ia menggunakan istilah kompensasi yang setara ketika menelaah dari sisi legal etik dan harga yang setara ketika meninjau dari aspek ekonomi. Ia menyatakan:
“sering kali terjadi ambiguitas dikalangan para fuquha dan mereka saling berdebat tentang karakteristikdari suatu harga yang setara, terutama yang berkaitan dengan jenis (jins) dan kuantitas (miqdar)”.
Tentang perbedaan antara kompensasi yang setara dengan harga yang adil, ia menjelaskan:
“Jumlah yang tertera dalam suatu akad ada dua macam. Pertama,jumlah yang telah dikenal baik dikalangan masyarakat. Jenis ini telah dapat diterima secara umum.kedua, jenis yang tidak lazim sebagai akibat dari adanya peningkatan atau penurunan kemauan(righbah) atau faktor lainnya”. Hal ini dinyatakan sebagai harga yang setara.
Tampak jelas bagi Ibnu Taimiyah bahwa kompensasi yang setara itu relatif merupakan sebuah fenomena yang dapat bertahan lama akibat terbentuknya kebiasaan, sedangkan harga yang setara itu bervariasi, ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran serta dipengaruhi oleh kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Berbeda halnya dengan konsep kompensasi yang setara, persoalan harga yang adil muncul ketika menghadapi harga yang sebenarnya, pembelian dan pertukaran barang. Dalam mendefinisikan hal ini, ia menyatakan :
“Harga yang setara adalah harga standar yang berlaku ketika masyarakat menjual barang-barang dagangnnya dan secara umum dapat diterima sebagai sesuatu yang setara barang-barang tersebut atau barang-barang yang serupa pada waktu dan tempat yang khusus.”
Ibnu Taimiya menjelaskan bahwa harga yang setara adalah harya yang dibentuk oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas, yakni pertemuan antara kekuatan permintaan dengan penawaran. Ia menggambarkan perubahan harga sebagai barikut :
“Jika penduduk menjual barang-barangnya secara normal (al-wajh al-ma’ruf) tanpa menggunakan cara-cara yang tidak adil kemudian harga tersebut meningkat karena pengaruh kelangkaan barang (yakni penurunan supply)atau karena peningkatan jumlah penduduk (yakni peningkatan demand) kenaikan harga-harga tersebut merupakan kehendak Allah swt, dalam kasus ini, memaksa penjual untuk menjual barang-barang mereka pada harga tertentu adalah pemakasaan yang salah (ikrah bi ghairi haq)”.
a. Konsep Upah yang Adil
Pada abad pertengahan, konsep upah yang adil dimaksudkan sebagai tingkat upah yang wajib diberikan kepada para pekerja sehingga mereka dapat hidup secara layak ditengah-tengah masyarakat. Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengacu pada tingakat harga yang berlaku dipasar tenaga kerja (tas’ir fil a’mal) dan menggunakan istilah upah yang setara (ujrah al-mitsl). Seperti halnya harga, prinsip dasar yang menjadi objek observasi dalam menentukan suatu tingkat upah adalah definisi menyeluruh tentang kualitas dan kuantitas. Harga dan upah, ketika keduanya tidak pasti dan tidak ditentukan atau tidak dispesifikasikan dan tidak diketahui jenisnya, merupakan hal yang samar dan penuh dengan spekulasi.
Tentang bagaimana upah yang setara itu ditentukan, Ibnu Taimiyah menjelaskan:
“upah yang setara akan ditentuakan oleh upah yang telah diketahui (musamma’) jika ada, yang dapat menjadi acuan bagi kedua belah pihak. Seperti halnya dalam kasus jua dan sewa, harga yang telah diketahui (tsaman musamma’) akan diperlakuan sebagai harga yang setara”.
b. Konsep laba yang adil
Menurutnya, para pedagang barhak memperoleh keuntungan melalui cara-cara yang dapat diterima secara umum tanpa merusak kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan para pelanggannya.
Berdasarkan definisi tentang harga yang adil, Ibnu Taimiyah medefinisikan laba yang adil sebagai laba normal yang secara umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu, tenpa merugikan orang lain. Ia menentang tingkat keuntungan yang tidak lazim, bersifat eksplotif dengan memanfaatkan ketidakpedulian masyarakat terhadap kondisi pasar yang ada. Ia menjelaskan:
“seseorang yang memperoleh barang untuk mendapatkan pemasukan dan memperdagangkannya dikemudian hari diizinkan melakukan hal tersebut. Namun, ia tidak boleh mengenakan keuntungan terhadap orang-orang miskin yang lebih tinggi daripada yang sedang berlaku dan seharusnya tidak menaikan harga terhadap mereka yang sedang sangat membutuhkan ”.
Ibnu Taimiyah memandang laba sebagai penciptaan tenaga kerja dan modal secara bersamaan. Oleh karena itu, pemilik kedua faktor produksi tersebut berhak memperoleh bagian keuntungan. Dalam hal tejadi suatu perselisihan, ia menyatakan bahwa keuntungan dibagi menurut cara yang dapat diterima secara umum oleh kedua belah pihak, yakni pihak yang menginvestasikan tenaganya dan pihak yang menginvestasikan uangnya. Ia menyatakan:
“karena keuntungan merupakan tambahan yang dihasilkan oleh tenaga disatu pihak dan harta dipihak lain, maka pembagian keuntungan dilakuan dengan cara yang sama sebagai tambahan yang diciptakan oleh kedua faktor tersebut”.
3. REGULASI HARGA
Regulasi harga adalah pengaturan terhadap harta barang-barang yang dilakukan oleh pemerintah. Regulasi ini bertujuan untuk memelihara kejujuran dan kemungkinan penduduk bisa memenuhi kebutuhan pokonya. Dalam sejarah Islam, kebebasan sudah dijamin dengan berbagai tradisi masyarakat dan sistem hukumnya. Sebagian orang berpendapat bahwa negara dalam Islam tidak boleh mencampuri masalah ekonomi dengan mengharuskan nilai-nilai dan moralitas atau menjauhkan sanksi kepada orang yang melanggarnya. Mereka mempunyai pandangan seperti ini berdasarkan pada hadits Nabi SAW yang tidak bersedia menetapkan harga-harga walaupun pada saat itu harga melambung tinggi. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra.
”Dari Anas bin Malik ra, beliau berkata: harga barang-barang pernah mahal pada masa Rasulullah saw, lalu orang-orang berkata: ya Rasulullah, harga-harga menjadi mahal, tetapkanlah standar harga untuk kami, lalu Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah-lah yang menetapkan harga, yang menahan dan membagikan rizki, dan sesungguhnya saya mengharapkan agar saya berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak seorangpun diantara kamu sekalian yang menuntut saya karena kezaliman dalam pertumpahan darah (pembunuhan) dan harta”.
Ibnu Taimiyah menafsirkan hadist tentang regulasi harga, bahwa kasus tersebut merupakan kasus yang khusus dan bukan kasus yang umum. Menurutnya, harga naik karena kekuatan pasar, bukan karena ketidaksempurnaan pasar tersebut. Menurut Ibnu Taimiyah, hadist tersebut mengungkapkan betapa Nabi saw tidak mau ikut campur tangan dalam masalah regulasi harga-harga barang. Akan tetapi hal tersebut disebabkan oleh kenaikan harga yang dipicu kondisi objektif pasar Madinah, bukan karena kecurangan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat untuk mengejar keuntungan belaka. Pada saat itu, pasar Madinah kekurangan supply impor atau karena menurunnya produksi. Hal itu terjadi bukan karena ada pedagang yang sengaja menimbun barang di pasaran. Dengan demikian, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kenaikan harga barang-barang pada masa Nabi saw dikarenakan bekerjanya mekanisme harga.
Pada kondisi terjadinya ketidaksempurnaan pasar, Ibnu Taimiyah merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah. Misalnya dalam kasus dimana suatu komoditas kebutuhan pokok yang harganya naik akibat adanya manipulasi atau perubahan harga yang disebabkan oleh dorongan-dorongan monopoli. Maka dalam keadaan seperti inilah, pemerintah harus menetapkan harga yang adil bagi penjual dan pembeli.
Otoritas pemerintah dalam melakukan pengawasan harga harus dirundingkan terlebih dahulu dengan penduduk yang berkepentingan. Tentang ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan sebuah metode yang diajukan pendahulunya, Ibnu Habib, bahwa pemerintah harus menyelenggarakan musyawarah dengan para tokoh perwakilan dan pasar. Yang lain juga diterima hadir, karenanya mereka harus diperiksa keterangannya. Setelah melakukan perundingan dan penyelidikan tentang transaksi jual beli, pemerintah harus secara persuasif menawarkan ketetapan harga yang didukung oleh para peserta musyawarah, juga penduduk semuanya. Jadi keseluruhannya harus sepakat tentang hal itu.
Dalam kitabnya, al-Hisbah, penetapan harga harus diperlukan untuk mencegah manusia menjual makanan dan barang lainnya hanya kepada kelompok tertentu dengan harga yang ditetapkan sesuai keinginan mereka. Oleh karena itu, regulasi harga (fixed price policy) sangat mempermudah usaha mikro dalam menghadapi manipulasi pasar yang umumnya dilakukan oleh pengusaha besar. Kebijakan ini sering digunakan pemerintah untuk mellindungi sektor usaha mikro dari kehancuran.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-Siyasa’t al-Syar’iyyah fi’ Ishla’h al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi, dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat untuk kesejahteraan rakyat yang ia sebut ada ’al-ama’na’t ila’hliha. Pengelolaan negara serta sumber-sumber pendapatannya menjadi bagian dari seni oleh negara, pengertian al-siyasah al-dustu’riyyah maupun al-siya’sa’t al-ma’liyyah (politik hukum publik dan privat). Sedangkan dalam karya lainnya, al-Hisbah fi al-Islam, lebih menekankan intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar; hingga akuntansi yang erat kaitannya dengan sistem dan prinsip zakat, pajak, dan jizyah. Dengan demikian, seperti halnya dengan Abu Ubaid, nampaknya Ibnu Taimiyah mempunyai kerangka fikir yang sejalan dalam pendapat yang menyatakan bahwa ekonomi syari’ah, baik sistem maupun hukumnya, merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan dan ketatanegaraan.
Perbuatan monopoli terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia menjadi hal yang ditentang oleh Ibnu Taimiyah. Jika ada sekelompok masyarakat melakukan monopoli, maka wajib bagi pemerintah untuk melakukan pengaturan (regulasi) terhadap harga. Hal ini dilakukan untuk menerapkan harga yang adil. Monopoli merupakan hal yang tidak adil dan sangat merugikan orang lain. Perbuatan tersebut zalim, monopoli sama saja menzalimi orang-orang yang membutuhkan barang kebutuhan yang dimonopoli.
Beberapa implikasi dari doktrin kebebasan ekonomi dalam Islam tersebut, dalam kaitannya dengan pasar, dapat dibaca dalam pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah sebagai berikut:
a) Orang-orang bebas masuk dan meninggalkan pasar
b) Tingkat informasi yang cukup mengenai kekuatan-kekuatan pasar dan barang-barang dagangan (komoditas) adalah perlu. Ibnu Taimiyah meneliti beberapa kontrak (perjanjian) dimana salah satu pihak yang terlibat tidak bertindak sesuai dengan persyaratan ini, sementara ia memberikan kepada pihak lainnya kesempatan untuk meninjau kembali kontrak itu. Dia juga menganggapnya sebagai tanggung jawab pemerintah (al-muhtasib) untuk memperbaiki situasi tersebut.
1) Unsur- unsur monopolistik harus dilenyapkan dari pasar. Ibnu Taimiyah tidak membolehkan berbagai koalisi professional, baik yang terdiri kelompok-kelompok penjual maupun pembeli. Dia membolehkan al-muhtasib untuk ikut campur tangan dan menentukan harga barang-barang sejenis kapan saja unsur-unsur monopolistik menampilkan diri di pasar.
2) Dalam batas kebebasan ini, dia mengakui berbagai peningkatan permintaan dan penawaran yang disebabkan olehnya, karena “memaksa orang untuk menjual barang dengan harga yang ditentukan sama dengan pemaksaan tanpa hak,” dan meskipun si penjual seharusnya tidak dipaksa untuk kehilangan laba tetapi pada saat yang sama dia seharusnya tidak diperbolehkan merugikan orang lain.
3) Setiap penyimpangan dari pelaksanaan kebebasan ekonomi yang jujur, seperti sumpah palsu, penimbangan yang tidak tepat, dan niat buruk dikecam oleh para penulis Muslim, demikian juga memproduksi dan memperdagangkan barang-barang dagangan (komoditas) yang tercela karena tidak baik dari alas an-alasan kesehatan ataupun moral sesuai dengan norma-norma Qur’ani, seperti minuman-minuman beralkohol, minuman-minuman keras, pelacuran dan penjudian.
Tokoh ekonom islam Ibnu Taimiyah menjelaskan tugas kemasyarakatan meliputi manajemen uang, peraturan timbangan dan ukuran, control harga bila diperlukan, dan keadaan abnormal yang dapat dibolehkan memungut zakat di atas apa yang ditetapkan oleh syari’ah. Ibnu Taimiyah tidak saja berbicara tentang hal-hal yang positif dalam ekonomi, namun juga menerangkan tentang hal-hal yang negatif dalam ekonomi. Antara lain mekanisme penawaran dan permintaan dalam menentukan harga. Ibnu Taimiyah juga nenjelaskan pajak tidak langsung dan bagaimana beban pajak tersebut dialihkan dari produsen kepada konsumen yang harus membayar harga yang lebih tinggi.
4. Fungsi Uang dan Perdagangan Uang
Dalam hal uang, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa fungsi utama uang adalah sebagai alat pengukur nilai dan sebagai media untuk memperlancar pertukaran barang. Hal itu sebagaimana yang beliau ungkapkan, bahwa Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.
Apabila uang ditukarkan dengan uang yang lain, maka pertukaran tersebut harus dilakukan secara simultan (taqabud) , dan tanpa penundaan (hulul). Apabila dua orang saling mempertukarkan uang dengan kondisi di satu pihak membayar tunai sementara pihak lainnya berjanji membayar di kemudian hari, maka pihak pertama tidak akan dapat menggunakan uang yang dijanjikan untuk bertransaksi hingga benar-benar uang tersebut dibayar, sehingga sebenarnya pihak pertama telah kehilangan kesempatan. Dalam pandangan ibnu Taimiyah hal itulah yang menjadi alasan mengapa Rasulullah saw melarang jenis transaksi seperti ini.
5. Pencetakan Uang sebagai Alat Tukar Resmi
Ibnu Taimiyah hidup pada zaman pemerintahan bani Mamluk. Pada saat itu harga-harga barang ditetapkn dalam Dirham, yaitu mata uang peninggalan Bani Ayyubi. Karena desakan kebutuhan masyarakat terhadap mata uang dengan pecahan lebih kecil, maka Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata uang baru yang berasal dari tembaga yang disebut dengan Fulus. Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi besar, dan Fulus digunakan untuk transaksi-transaksi dalam nilai kecil. Inilah yang kelak kemudian menginspirasi pemerintahan Sultan Kitbugha dan Sultan Dzahir Barquq untuk mencetak Fulus dalam jumlah sangat besar dengan nilai nominal yang melebihi kandungan tembaganya (instrinsic value). Akibatnya kondisi perekonomian semakin memburuk, karena nilai mata uang menjadi turun. Berkenaan dengan adanya fenomena penurunan nilai mata uang tersebut. Ibnu Taimiyah berpendapat , bahwa Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proposional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
Dari yang beliau nyatakan tersebut, dapat dipahami bahwa beliau melihat adanya hubungan antara jumlah uang yang beredar di masyarakat, total volume transaksi yang dilakukan, dan tingkat harga agar tetap produk yang berlaku. Pernyataan dalm kalimat pertama (penguasa seharusnya mencetak fulus sesuai dengan nilai yang adil (proposional) atas transaksi masyarakat) dimaksudkan untuk menjaga harga agar tetap stabil. Menurutnya, nilai instrinsik mata uang harus sesuai dengan daya beli masyarakat di pasar sehingga tidak seorang pun, termasuk pemerintah dapat mengambil untung dengan melebur uang dan menjualnya dalam bentuk logam lantakan, atau mengubah logam tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang, karena sifat-sifat alamiah uang yang termasuk kategori token money, semakin sulit bagi pemerintah untuk menjaga nilai uang. Yang dapat dilakukan pemerintah adalah tidak mencetak uang selama tidak ada kenaikan daya serap sector riil terhadap uang yang dicetak tersebut. Melalui teori kuantitas uangnya Irving Fisher dapat dijelaskan melalui persamaan:
MV=PT
Dimana M (Money) adalah jumlah uang beredar, V (Velocity) adalah kecepatan uang beredar, P (Price) adalah tingkat harga produk dan T (Trade) adalah nilai produk yang diperdagangkan. Apabila pemerintah setiap kali butuh uang melakukan pencetakan mata uang tanpa memperhatikan daya serap sector riil, maka jumlah uang beredar di masyarakat, M akan meningkat. Sementara bila V dan T tidak mengalami perubahan, dalam persamaan di atas agar sisi kanan sama dengan sisi kiri, maka otomatis P akan naik. Dengan kata lain, konsekuensi naiknya M akan mengakibatkan harga-harga produk mengalami kenaikan (tidak stabil), yang berarti terjadi inflasi yang meningkat.
6. Implikasi Penerapan Lebih dari Satu Standar Mata Uang
Sultan Kitbugha menetapkan bahwa nilai fulus ditentukan berdasarkan beratnya, dan bukan berdasarkan nilai nominalnya. Namun pencetakan fulus dalam jumlah besar masih dilakukan oleh Sultan Dzahir Barquq dengan mengimpor tembaga dari negara-negara Eropa. Di tengah penggunaan fulus secara luas pada masyarakat, pada saat yang bersamaan penggunaan dirham semakin sedikit dalam kegiatan transaksi. Dirham semakin menghilang dari peredaran dan inflasi semakin melambung yang ditandai dengan semakin meningkatnya harga-harga produk. Dampak pemberlakuan fulus sebagai mata uang resmi adalah terjadinya kelaparan sebagai akibat inflasi keuangan yang mendorong naiknya harga. Persoalan kelaparan ini di ungkapkan oleh Maqrizi dalam kitabnya Ightsatul Ummah bi Kayfi al-Ghummah.
Dirham juga mengalami perubahan komposisi kandungan pada zaman pemerintahan Nasir. Satu Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Pada saat pemerintahan di bawah cucu Nasir, yaitu Nasir Hasan (1358 M) pemerintah menetapkan keputusan bahwa fulus yang sedang beredar di masyarakat dinyatakan tidak berlaku lagi, dan pemerintah mengeluarkan mata uang baru sebagai penggantinya. Merespon berbagai kebijakan uang yang dilakukan oleh penguasa pada saat itu, Ibnu Taimiyah menyatakan, Apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai mata uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki.
Beliau menyarankan agar penguasa tidak membatalkan masa berlaku suatu mata uang sedang berada ditangan masyarakat. Ketika pemerintah menyatakan tidak berlakulagi atas mata uang yang dipegang masyarakat, yang berarti uang diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak mempunyai nilai yang sama dibandingkan dengan ketika berfungsi sebagai uang, maka masyarakat sangat dirugikan dalam hal ini. Daya beli masyarakat secara langsung akan terpangkas drastic karena terjadi penurunan nilai asetnya dengan adanya kebijakan tersebut.
Menurutnya, penciptaan mata uang dengan nilai nominal yang lebih besar dari pada nilai instrinsiknya, dan kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli emas, perak atau benda berharga lainnya dari masyarakat akan menyebabkan terjadinya penurunan nilai mata uang serta akan menyebabkan inflasi serta pemalsuan uang. Beliau menganggap bahwa perdagangan mata uang sebagai bentuk kezaliman terhadap masyarakat dan bertentangan dengan kepentingan umum.
Ibnu Taimiyah menyarankan kepada penguasa agar tidak mempelopori bisnis mata uang dengan cara membeli tembaga serta mencetaknya menjadi uang, dengan kata lain mengambil untung dari hasil mencetak uang (seignorage). Saran beliau cukup beralasan, karena setiap pemerintah butuh uang kemudian dengan seenaknya mencetak uang, apalagi nilai nominal mata uang tersebut lebih kecil dari pada nilai instrinsiknya, maka kondisi tersebut akan memicu inflasi yang tinggi. Pada saat inflasi tinggi, ketika jumlah uang beredar berlebihan, sementara pendapatan masyarakat nominal tidak bertambah, maka pendapatan riil masyarakat akan menurun, yang berarti masyarakat menjadi semakin miskin. Sehingga Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang dengan kualitas buruk akan menyingkirkan uang dengan kualitas baik dari peredaran. Hal itu akibat beredarnya mata uang lebih dari satu jenis pada saat itu dengan nilai kandungan logam mulia yang berbeda.
Al-Dzahir Barquq membangun gedung percetakan uang tembaga di Alexandria sehingga uang tembaga semakin banyak di tangan orang-orang dan beredar luas karena itu menjadi mata uang dominan di negeri ini. Dirham semakin berkurang karena dua sebab yaitu: pertama, sama sekali tidak dicetak lagi. Kedua, orang-orang melebur dirham untuk dijadikan perhiasan.
D. RELEVANSI PEMIKIRAN DENGAN ZAMAN SEKARANG
Pertama, menurut Ibnu Taimiyah, naik turunnya harga bukan saja dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan tetapi ada factor-faktor yang lain. Pernyataan ini sangat sesuai dengan keadaan saat ini bahwa harga sering kali berubah-ubah karena sebab selain permintaan dan penawaran, misalnya karena disebabkan oleh kenaikan pajak, harga bahan baku, pendapatan masyarakat, dll.
Kedua, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa harga yang setara adalah harga yang dibentuk oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas, yakni pertemuan antara kekuatan permintaan dengan penawaran. Keadaan ini masih terjadi saat ini bahwasanya terjadinya harga yang adil ketika penawaran sesuai dengan permintaan, maka pasar akan berjalan dengan baik.
Ketiga, Ibnu Taimiyah menafsirkan hadist tentang regulasi harga, bahwa kasus tersebut merupakan kasus yang khusus dan bukan kasus yang umum. Menurutnya, harga naik karena kekuatan pasar, bukan karena ketidaksempurnaan pasar tersebut. Dalam teori ini pada zaman sekarang masih terjadi namun sudah tidak begitu berpengaruh, karena pemerintah tidak lagi ikut campur dalam urusan harga di pasar.
Keempat, Dalam hal uang, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa fungsi utama uang adalah sebagai alat pengukur nilai dan sebagai media untuk memperlancar pertukaran barang. Teori ini sangat sesuai dan tetap berlaku sampai sekarang, karena memang uang sebagai alat ukur dan memperlancar pertukaran barang.
Kelima, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proposional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka. Keadaan saat pada masa Ibnu Taimiyah dulu masih menggunakan emas dan perak sebagai mata uang karena harga dari emas dan perak terlalu tinggi untuk dijadikan uang. Sehingga Ibnu Taimiyah mengusulkan untuk membuat uang dari selain emas dan perak. Sampai sekarang pun tidak ada lagi uang yang terbuat dari emas dan perak, namun tetap terjaga kualitasnya sebagai alat tukar yang sah tanpa harus mengeluarkan modal yang banyak untuk mencetak uang itu sendiri.
Dan yang terakhir yang keenam, Ibnu Taimiyah menyatakan apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai mata uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki. Pada masa sekarang sudah tidak ditemukan lagi kejadian yang membatalkan mata uang tertentu karena mata uang suatu Negara sudah mutlak adanya, jadi tidak ada lagi pergantian mata uang yang menimbulkan kerugian bagi orang yang kaya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari makalah yang telah dijelaskan dapat disimpulkan bahwa:
Ibnu Taimiyah yang bernama lengkap Taqayuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabiul Awwal 661 H). Ia berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayah, paman, dan kakeknya merupakan ulama besar Mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku. Sejarah mencatat bahwa sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa tahanan sebanyak empat kali akibat fitnah yang dilontarkan para penentangnya. Selama dalam tahanan, Ibnu Taimiyah tidak pernah berhanti untuk menulis dan mengajar. Bahkan, ketika penguasa mencabut haknya untuk menulis dengan cara mengambil pena dan kertasnya, ia tetap menulis dengan menggunakan batu arang. Ibnu Taimiyah meninggal dunia didalam tahanan pada tanggal 26 September 1328 M (20 Dzul Qo’dah 728 H) setelah mengalami perlakuan yang sangat kasar selama lima bulan.
Ibnu Taimiyah termasuk penulis produktif, karya tulisannya mencakup bidang akidah, fikih, tafsir, hadis, tasawuf, filsafat, hingga politik. Menurut Muhammad Farid Wajdi (editor Da’irah Al-Ma’arif Al-Islamiyah) karya ibnu Taimiyah mencapai 5000 judul.
Adapun teori pemikirannya yaitu: Mekanisme Harga,Harga yang Adil, Regulasi Harga, Fungsi Uang dan Perdagangan Uang, Pencetakan Uang sebagai Alat Tukar Resmi dan Implikasi Penerapan Lebih dari Satu Standar Mata Uang.
Relevansi antara teori Ibnu Taimiyah masih banyak yang terpakai pada saat ini, terlebih lagi masalah harga dan fungsi uang. Karena tidak bisa dipungkiri, dari zaman dahulu sampai sekarang masalah ekonomi tidak terlepas dari harga di pasar dan fungsi uang itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Chamid, Nur. 2010.Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.Yogyakarta.Pustaka Pelajar.
Rivai, Veithzal, Andi Buchari.2009.Islamic Economics Syariah Bukan Opsi Tetapi Solusi.Jakarta.Bumi Aksara.
Karim, Adiwarman A. 2011.Ekonomi Mikro Islam.Jakarta.PT Raja Grafindo Persada.
Al-Qhardhawi, Yusuf.1993.Fiqhal-Zakah.Beirut.Muasasah al-Risalah.
Asy-Syarafa, Ismail.2002. Ensiklopedi Filsafat. Jakarta.Khalifa
Selasa, 28 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut