BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Al-Farabi dikenal sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam islam yang sejak itu terus dibangun secara tekun. Beliau lebih dikenal dengan Abu Nasr Muhammad ibnu Alfarakh Al-Farabi. Selain itu beliau juga dikenal sebagai bapak guru kedua (Al-Mua’alim al-tsani) setelah Aristoteles sebagai guru pertama (Al-Mua’lim al-awwal). Julukan itu disematkan seorang pemikir besar muslim pada abad pertengahan.
Karena kiprahnya, jasa dan dedikasinya sebagai seorang filsuf dan ilmuwan terbaik di zamannya, telah membuat Al-Farabi didaulat sebagai guru kedua setelah pemikir besar Yunani kuno tersebut. Filsuf islam yang dikenal didunia barat dengan nama Alpharabius itu adalah sosok ilmuwan yang serba bisa. Yang memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuwan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh, serta mengupasnya dengan sempurna. Sehingga filsuf yang datang sesudahnya seperti ibnu Sina dan ibnu Rusyd banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.
Menurut Al-Farabi perbedaan agama dan filsafat tidak mesti ada, karena keduanya mengacu kepada kebenaran dan kebenaran itu hanya satu. Walaupun posisi dan cara memperoleh kebenaran itu berbeda, agama menawarkan kebenaran dan filsafat mencari kebenaran. Kebenaran agama dan filsafat bersumber dari akal aktif. Kebenaran filosuf melalui akal mustafad, sedangkan nabi melalui perantara wahyu.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Biografi Al-Farabi itu ?
b. Apa Saja Falsafat dan Karya-Karya Al-Farabi ?
c. Bagaimana Perpaduan Pendapat Antara Plato dan Aristoteles ?
d. Apa Definisi Logika Menurut Al-Farabi ?
e. Apa Saja Metafisika Menurut Al-Farabi ?
f. Apa Definisi Emanasi Menurut Al-Farabi ?
3. Tujuan
a. Untuk Mengetahui Bagaimana Biografi Al-Farabi
b. Untuk Mengetahui Falsafat dan Karya-Karya Al-Farabi
c. Untuk Mengetahui Apa Saja Perpaduan Plato dan Aristoteles
d. Untuk Mengetahui Defenisi Logika
e. Untuk Mengetahui Apa Saja Metafisika Al-Farabi
f. Untuk Mengetahui Definisi Emanasi Al-Farabi
4. Metode
Metode yang digunakan penulis untuk menyusun makalah ini adalah study pustaka yaitu usaha penulis menghimpun informasi-informasi yang relevan dari buku-buku ilmiah, ensiklopedi, dan sumber-sumber baik tercetak ataupun elektronik lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Farabi
Berbeda dengan kehidupan beberapa filosof besar islam yang berpengaruh dan memiliki pengaruh besar di dunia islam dan Barat Latin, seperti Ibn Sina (370-429 H / 90-1037 M), latar belakang keluarga atau kehidupan awal, pelatihan dan pendidikan Al-farabi sangat sedikit yang diketahui dengan pasti. Meskipun al-farabi mempunyai murid dekat, dia tidak pernah mendiktekan otobiografinya kepada salah seorang dari mereka, sebagaimana yang diakukan Ibn Sina kepada murid kesayangannya, Al Juzjani. Juga tidak seperti Ibn Khaldun.
Al-Farabi lahir di Wasij Turkistan tahun 257 H (870M) distrik farab (sekarang dikenal dengan kota attar). Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Iran dan menikah dengan seorang wanita Turkestan. Kemudian, ia menjadi perwira tentara Turkestan. Oleh karena itu, Al-Farabi dikatakan berasal dari keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan dari keturunan Iran.
Sejak kecil Al-Farabi suka belajar, dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya antara lain, bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan. Tampakny ia tidak mengenal bahasa Yunani dan Siriani, yaitu bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu. Setelah besar, Al-Farabi mennggalkan negerinya untuk menuju kota Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya, untuk belajar antara lain pada Abu Bisyr bin Mattius. Selama berada di Baghdad, ia memusatkan perhatiannya pada ilmu logika.
Pertama datang di Baghdad, hanya sedikit saja bahasa Arab yang telah dikuasainya. Ia sendiri mengatakan bahwa ia belajar ilmu nahwu (tata bahasa Arab) pada Abu Bakar Al-Saraj, sebagai imbalan pelajaran logika yang diberikan oleh Al-Farabi kepadanya.
Sesudah itu, ia pindah ke Harran salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil untuk berguru kepada Yuhanna bin Jilan. Akan tetapi, tidak lama kemudian, ia meninggalkan kota itu untuk kembali ke Baghdad dan untuk mendalami filsafat sesudah ia menguasai ilmu mantik (logika).
Di Baghdad ia tinggal selama 30 tahun. Selama itu ia menggunakan waktunya untuk mengarang, memberikan pelajaran, dan mengulas buku-buku filsafat. Muridnya yang terkenal pada masa itu adalah Yahya bin Ady.
Pada tahun 330 H (941 M), ia pindah ke Damsyik, dan di sini ia mendapat kedudukan yang baik dari Saifudaulah, khalifah dinasti Hamdan di Halab (Aleppo), sehingga ia di ajak turut serta dalam suatu pertempuran untuk merebut kota Damsyik, kemudian ia menetap di kota ini sampai wafatnya pada tahun 337 H (950 M) dalam usia 80 tahun.
B. Filsafat dan Karya-Karya Al-Farabi
Al-Farabi mempunyai pengetahuan yang sangat luas,ia mendalami lmu-ilmu yang ada pada masanya termasuk filsafat. Ia mendefinisikan filsafat sebagai ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada (Al-Ilmu bil Maujudaat baina Hia Al-Maujudaat). Filsafat Al-Farabi yang terkenal adalah filsafat emanasi. Dalam filsafat ini ia menerangkan bahwa segala yang ada memancar dari Zat Tuhan melalui akal-akal yang berjumlah sepuluh. Alam materi dikontrol oleh akal .ia juga membahas soal jiwa dan akal manusia. Akal menurut pemikirannya mempunyai tiga tingkat , Al-Hayulani (materi) Bi Al-Fi’l (aktuil) dan Al-Mustafad (adeptus, aquired) .
Akal pada tingkat terakhir inilah yang dapat menerima pancaran yang dikirimkan Tuhan melalui akal-akal tersebut.Jiwa manusia memancar dari akal fa’al, kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident artinya keduanya mempunyai substansi yang berbeda. Jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia berasal dari alam illahi. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak islam aliran Syi’ah Imamiah. Misalnya, dalam soal mantik dan filsafat fisika, ia mengkuti Aristoteles, dalam soal etika dan poitik, ia mengikuti Plato, dan soal dalam metafisika, ia mengikuti Plotinus. Selain itu Al-Farabi adalah seorang filosof sinkretisme (pemaduan) yang percaya akan kesatuan (ketunggalan) filsafat.
Usaha pemaduan Al-Farabi sebenarnya sudah dimulai sebelum munculnya Al-Farabi dan telah mendapat pengaruh luas dalam lapangan filsafat, terutama sejak adanya aliran Neoplatonisme. Namun, usaha Al-Farabi lebih luas lagi, karena ia bukan saja mempertemukan aneka aliran filsafat yang bermacam-macam, tetapi ia juga berkeyakinan bahwa aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu, meskipun berbeda-beda corak dan macamnya.
Pokok filsafat politik kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi dengan seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur Negara. Pemikiran politiknya dituangkan dalam karyanya berjudul Al-Siyasah al-Madaniyyah (pemerintahan politik) dan Al Madinatil al-Fadhilah (Negara utama). Penguasa adalah orang yang paling unggul baik dalam bidang intelektual atau moralnya. Sehingga ia harus memiliki kwalitas sebagai berikut:
1. Kecerdasan
2. Ingatan yang baik
3. Pikiran yang tajam
4. Cinta pada pengetahuan
5. Sikap moderet (makanan, minuman, seks)
6. Cinta pada kejujuran
7. Murah hati
8. Kesederhanaan
9. Cinta pada keadilan
10. Ketegaran dan keberanian
11. Kesehatan
12. Kefasihan berbicara
Untuk mencapai kebahagiaan Al-Farabi menekankan empat sifat utama bagi bangsa dan setiap warga Negara, yakni:
1. Keutamaan teoritis, merupakan prinsip-prinsip pengetahuan yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, pengetahuan ini dapat juga diperoleh melalui kotemplasi, penelitian, belajar dan mengajar.
2. Keutamaan pemikiran, yakni yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan( kemampuan membuat aturan UU).
3. Keutamaan akhlak, bertujuan mencari kebaikan, pengetahuan ini menjadi syarat keutamaan pemikiran.
4. Keutamaan amaliah, diperoleh melalui pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan pemaksaan.
Garis-garis besar pendapat mengenai kenegaraan, bahwa negara harus berdiri atas dasar akhlak mulia, dari satu pihak dan atas dasar pihak lain. Dalam Tahshil al-Sa’adah ia berkata: “Hal-hal yang kemanusiaan yang apabila ada dalam kehidupan umat dan dalam kehidupan penduduk kota tercapailah kebahagiaan dunia dalam keidupan pertama (dunia) dan kebahagiaan puncak dalam kehidupan yang lain (akhirat).
Khusus mengenai etika kenegaraan Al-Farabi mengemukakan suatu ide bahwa dalam tiap keadaan ada unsur-unsur pertentangan. Hal itu seperti dalam alam, yang kuat berarti lebih sempurna dari yang lemah. Dalam politik kenegaraan orang harus mengambil teladan dari naluri hewani itu. Sebab keadilan itu baru bis dilaksanakan bila kita dalam kemenangan.
Suatu keistimewaan yang diraih oleh Al-Farabi ialah tentang usaha yang dilakukan dalam mengkompromikan perbedaan paham antara Plato dan Aristoteles. Plato mengatakan bahwa alam nyata yang kita lihat ini hanyalah tiruan semata dari alam idea, sedangkan menurut Arisoteles mengatakan sebaliknya, bahwa alam idea hanyalah bayangan (pantulan) saja dari alam materi. Kita melihat beberapa benda (materi). lalu dari pantulan penglihatan itu barulah kita dapat menyimpulkan suatu rumusan pendapat (konsep) tentang benda itu. Dan konsep itulah menurut Aristoteles yang dinamakan idea. Sedangkan Plato mengatakan bahwa alam dunia inilah adalah baru (hadis) dan tidak abadi, maka sebaliknya Aristoteles berpendapat bahwa alam duni ini qadim (azali), sudah ada sejak semula dan abadi selama-lamanya.
Karya pendamai itu ditulisnya dalam bukunya, Al-Jam’u baina rakyail Hakimaini. Di sana dikatakan bahwa semua filsafat itu memikirkan kebenaran. Dan karena kebenaran itu hanyalah satu macam dan serupa hakikatnya, maka semua filsafat itu pada prinsipnya tidak berbeda. Begitu juga antara filsafah dan agama. Filsafat memikirkan kebenaran, sedangkan agama juga memikirkan kebenaran. Maka sudah pastilah, menurut Al-Farabi, tidak ada perbedaan antara filsafat pada umumnya dengan agama.
Pada abad pertengahan Al-Farabi menjadi sangat terkenal, sehingga orang-orang Yahudi banyak yang mempelajari karangan-karangannya dan ia salin kebahasa Ibrani. Sampai sekarang, salinan tersebut masih tersimpan di perpustakaan-perpustakaan Eropa. Sebagian besar karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Gelenus, dalam bidang-bidang logika, fisika, etika, dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang dipikirkannya, ia lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles. Ibnu Sina pernah mempelajari buku Metafisika karangan Aristoteles lebih dari empat kali, tetapi belum juga mengerti maksudnya.setelh membaca buku Al-farabi yang berjudul Aghradh kitabi ma Ba’da Ath-Thabi’ah (Intisari Buku I Metafisika), barulah ia mengerti apa yang selama ini dirasakan sukar.
Karangan- karangan Al-farabi diantaranya:
1. Aghradhu Ma Ba’da Ath-Thabi’ah
2. Al-jam’u baina Ra’yai Al-Hakimain (Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof, yakni Plato dan Arisoteles).
3. Tahsil As-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan).
4. ‘Uyun ul-Masail (Pokok-Pokok Persoalan).
5. Ara-u Ahl-il Madinah Al-Fadlilah (Pikiran-Pikiran Penduduk kota Utama-Negeri Utama).
6. Ih-sha’u Al-Ulum (Statistik Ilmu).
Dalam buku terakhirnya, Al-Farabi membicarakan macam-macam ilmu (bagian-bagiannya, yaitu ilmu-ilmu bahasa (Ilmu al-lisan) ilmu mantik, ilmu matematia (at-ta-alim) , ilmu fisika (al-ilm ath-thabi’i), ilmu ketuhanan (al-ilm al-illahi), ilmu perkotaan (politik;al-ilm al-madani), ilmu fiqh (ilm al-fiqh), dan ilmu kalam. Tampaknya, ilmu-ilmu tersebut telah dikemukakan oleh orang-orang sebelumnya. Hanya saja, Al-Farabi menambahkan dua cabang ilmu lagi, yaitu ilmu fiqh dan ilmu kalam, sebagai ilmu-ilmu keislaman yang mendapat perhatian besar pada masanya.
C. Perpaduan Plato dan Aristoteles
Al-Farabi melihat adanya perbedaan pendapat antara Plato dan Aristoteles, tetapi perbedaan itu menurut dia secara lahiriah saja, dan mengenai persoalan pokok, karena kedua tokoh tersebut adalah sumber (pencipta filsafat). Apa yang dikatakan oleh kedua filosof itu, kebenarannya tanpa diragukan lagi. Sumber pikiran kedua filosof tersebut juga satu. Oleh karena itu, pikiran-pikiran filsafatnya tidak mungkin berbeda. Kalau ada perbedaan, tidak lebih dari tiga kemungkinan yaitu:
Definisi filsafat itu sendiri tidak benar.
Pendapat orang banyak tentang pikiran-pikiran filsafat dari kedua filosof tersebut tidak benar
Pengetahuan kita tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar.
Menurut Al-farabi, definisi filsafat yang diberikan oleh Plato dan Aristoteles tidak berbeda, yaitu mengetahui wujud karena ia wujud, seperti yang sering dikatakan dalam karangannya masing-masing. Pendapat orang banyak tentang pikira-pikiran filsafat keduanya, dan kedudukannya dalam dunia filsafat juga tidak diragukan kebenarannya. Tinggalah emungkinan keiga, yaitu bahwa perbedaan antara kedua filosof tersebut hanya dalam lahirnya saja. Perbedaan lahir yang tidak sebenarnya itu boleh jadi dikarenakan:
Cara hidup masing-masing.
Gaya bahasa karangan-karangannya.
Sistem pemikirannya.
Banyak orang mengira bahwa kehidupan Plato berbeda dengan kehidupan Aristoteles. Plato meninggalkan keduniaan dan lebih suka untuk hidup menyendiri, sedangkan Aritoteles, yaitu muridnya lebih suka kepada keduniaan, karena ia mempunyai kekayaan yang melimpah dan berkeluarga pula. Bahkan pernah menjadi menteri pada masa Iskandar Mosedonia.
Al-Farabi mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara Plato dan Aristoteles dalam membicarakan soal-soal politik dan etik. Plato adalah orang pertama yang membukukan soal-soal polotik, menjelaskan perbuatan yang adil dan cara pergaulan dalam keluarga maupun kota dan Negara, dan menunjukkan akibat buruk dari perbuatan orang yang tidak bergaul atau tidak mau mengadakan kerja sama.
Aristoteles juga membicarakan persoalan yang sama, tetapi ia mempunyai kesanggupan dan kesediaan untuk menyelami sendiri medan hidup, sedangkan Plato sebaliknya tidak mempunyai kesanggupan dan kesediaan tersebut. Oleh karena itu, ia menjauhkan diri dari medan kehidupan. Jadi, keduanya sebenarnya sama pendapatnya, meskipun berbeda amal perbuatannya.
Sebenarnya pendapat Plato berbeda sama sekali dari pendapat Aristoteles. Akan tetapi, mengapa Al-Farabi dengan kerasnya meniadakan perbedaan tersebut. Al-Farabi melihat buku yang berjudul Theologia (Ar-Rububiyyah), kemudian ia mengira sebagai karangan Aristoteles, sedangkan sebenarnya buku itu adalah karangan Plotinus yang merupakan salah satu bagian dari buku Enneads (Tasu’at). Buku tersebut menetapkan adanya alam idea yang terletak bukan pada alam benda. Al-Farabi tidak mengetahui siapa sebenarnya pengarang buku tersebut.
Dengan demikian, menurut Al-Farabi pendapat Aristoteles tampaknya mengandung perlawanan. Perlawanan itu menurut pendapatnya tidak terlepas dari tiga kemungkinan, yaitu:
Benar-benar terdapat perlawanan.
Pendapat tersebut merupakan campuran antara pikiran Aristoteles dan pikiran orang lain.
Perlawanan tersebut hanya dalam lahirnya saja.
Teori epistemologi bertalian erat dengan persoalan idea. Menurut Plato, pengetahuan (ma’rifah) tidak lain adalah pengingatan kembali, artinya apabila panca indra kita berhadapan dengan sesuatu maka teringatlah atau muncul kembali pengetahuan yang kita peroleh sewaktu kita masih hidup, dimana kita dapat melihat idea yang azali dengan jalan pengabstrakan terhadap gambaran-gambaran dari wujud-wujud indrawi.
Menurut Al-Farabi, adalah suatu kesalahan kalau dikatakan ada perlawanan benar-benar antara Plato dan ristoteles sebab keduanya sama pendapatnya tentang sumber pengetahuan itu, yaitu wujud Tuhan, wujud alam rohani, dan wujud yang kita abstrakkan dengan kekuatan akal untuk menjadi bahan bagi pengetahuan kita.
Al-Farabi berusaha sekuat tenaga ntuk mempertemukan antara Plato dan Aristoteles, dengan meakai metode ilmiah. Akan tetapi, dasar usaha Al-Farabi tersebut lemah, yaitu keyakinan akan kesatuan filsafat disamping dugaannya yang salah, yaitu bahwa buku Theologia adalah karangan Aristoteles, sedangkan pengarang sebenarnya adalah Plotinus.
Oleh karena itu, bahwa usahanya tersebut telah gagal, sebab perbedaan pendapat antara kedua filosof tersebut jelas sekali. Corak pemikiran Al-Farabi adalah Syi’ah Batini, karena usahanya tidak mempertemukan aliran-aliran filsafat didasarkan atas anggapan bahwa aliran-aliran tersebut pad hakikatnya adalah satu. Ia juga memakai takwil sebagai alat pada setiap kali menghadapi kesulitan. Oleh karena itu, kadang-kadang ia berdiri sebagai penikut Plato dengan menarik Aristoteles, atau sebaliknya ia berdiri sebagai pengiut Aristoteles dengan menarik Plato.
Meskipun usaha Al-Farabi tersebut tidak berhasil, ia telah membuka pintu perpaduan bagi filosof-filosof islam yang datang sesudahnya. Al-Farabi juga telah mempertemukan agama islam di satu pihak dengan Plato dan Aristoteles di pihak lain. Menurut pendapatnya, agama islam tidak bertentangan dengan filsafat Yunani. Kalau ada perlawanan, hanya hanya dalam lahirnya saja dan tidak sampai menembus batinnya. Untuk menghilangkan perlawanan, kita harus memakai takwil filosofis dan meninggalkan permusuhan kata-kata. Baik agama maupun filsafat sumbernya adalah satu yaitu akal fa’al. Oleh karena itu, tidak mungkin ada perlawanan antara nabi dengan filosof, demikian pula dengan Aristoteles dengan nabi islam.
D. Logika
Al-Farabi memberikan perhatian khusus terhadap mantik. Dalam lapangan mantik, ia banyak meninggalkan karangan-karangan. Sayangnya, karangan-karangan tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali buku yang berjudul Syarh kitab Al-Ibarah li Aristoteles (penjelasan terhadap buku Al-ibarah dari Aristoteles), dan beberapa karangan singkat dalam buku Tahsil Al-As-Sa’si serta Ihsha-ul ‘Ulum. Dalam lapangan logika, Al-Farabi banyak mengikuti Aristoteles. Pendapat-pendapatnya tentang logika adalah sebagai berikut:
1. Definisi Logika. Logika ialah ilmu tentang pedoman (peraturan) yang dapat menegakkan pikiran dan menunjukkannya pada kebenaran dalam lapangan yang tidak bias dijamin kebenarannya.
2. Guna Logika. Ialah agar kita dapat membetulkan pemikiran orang lain, atau agar orang lain dapat membenarkan pemikiran kita, atau kita dapat membetulkan pemikiran kita sendiri.
3. Lapangan Logika. Ialah semacam pemikiran yang bisadiuraikan dengan kata-kata, dan juga segala macam kata-kata dalam kedudukannya sebagai alat menyatakan pikiran.
4. Bagian-bagian Logika. Pembagiannya ada delapan, yaitu: kategori (al-ma-qulat al-‘asyr); kata-kata (al-ibarah;termas); analogi pertama (al-qiyas); analogi kedua (al-burhan); jadal (debat); sofistika; retoriks; dan poetika (syair).
Pembagian qiyas ada lima, yaitu:
1. Qiyas burhani, yaitu qiyas yang memberi keyakinan.
2. Qiyas jadali, yaitu qiyas yang terdiri dari hal-hal yang sudah terkenal dan bias diterima (al-masyhurat wal musallamat).
3. Qiyas sofistika, yaitu qiyas yang menimbulkan sangkaan bahwa sesuatu yang tidak benar kelihatan benar atau sebaliknya.
4. Qiyas khatabi, yaitu qiyas yang menimbulkan dugaan yang tidak begitu kuat.
5. Qiyas syi’ri, yaitu qiyas yang memakai perasaan dan khayalan untuk dapat menarik orang lain.
E. Metafisika
1. Tuhan
Membagi wujud yang ada kepada dua bagian, yaitu:
Wujud yang mumkin atau wujud yang nyata karena yang lainnya (wajib lighairihi), seperti wujud cahaya yang tidak akan pernah ada, kalau tidak ada matahari.
Wujud yang nyata dengan sendirinya (wajib al-wujud lidzatih), adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya. Wujud yang apabila diperkirakan tidak ada, akan timbul dan kelihatan sama sekali. Kalau ia tidak ada, yang lima pun tidak akan ada sama sekali. Ia adalah Sebab Yang Pertama bagi semua wujud. Wujud Yang Wajib tersebut dinamakan Tuhan.
2. Hakikat Tuhan
Allah adalah wujud yang sempurna dan yang ada tanpa suatu sebab, karena kalau ada sebab bagi-Nya berarti ia tidak sempurna, sebab bergantung kepadanya. Ia adalah wujud yang paling mulia dan yang paling dahulu adanya. Oleh karena itu, Tuhan adalah Zat yang azali (tanpa permulaan) yang selalu ada. Karena wujud Tuhan itu sempurna, wujud tersebut tidak mungkin terdapat sama sekali pada selain Tuhan. Tuhan adalah Esa dan tidak ada sekutu-Nya.
Karena Tuhan itu tunggal, batasan (definisi) tentang Dia tidak dapat diberikan Karena batasan berarti suatu penyusunan, yaitu dengan memakai species dan differentia (an-nau’ wa al-fasl), atau dengan memakai hule dan form, seperti halnya dengan jauhar (benda), sedang semuanya ini adalah mustahil bagi Tuhan.
Apa yang tidak terbatas tidak bias dicapai selengkapnya dengan kekuatan kita yang terbatas sekali kesanggupannya. Tidak ubahnya dengan cahaya kuat yang menyilaukan mata, sehingga kita sukar mengurikan sifat-sifat sinar itu yang sebenarnya. Selain karena terbatas kesanggupan kita, juga karena kita telah tenggelam dalam alam kebendaan yang menutup mata hati kita. Semakin jauh kita dapat menghindari benda tersebut, semakin dekatlah kita kepada pengetahuan tentang Tuhan yang lebih jelas dan lebih sempurna.
3. Sifat-sifat Tuhan
Al-Farabi memberi sifat Tuhan sebagaimana filsuf teistik modern melakukannya, dalam pengertian bahwa manusia dapat mengetahui Tuhan melalui ciptaa-Nya. Ia juga mengemukakan sifat-sifat Tuhan, seperti esa, sederhana, tidak terbatas, dan hidup. Menurut konsepsinya, Tuhan itu sederhana sebab Dia tidak tersusun dari wujud fisik dan metafisik. Tuhan adalah satu. Jika Tuhan lebih dari satu, berarti Tuhan terdiri atas beberapa komponen. Secara logis hal itu pasti tidak mungkin.
Tuhan juga adalah Zat yang Maha Mengetahui (‘alim) tanpa memerlukan sesuatu yang lain untuk dapat mengetahui. Demikian pula, Tuhan untuk dapat diketahui oleh Zat-Nya sendiri (menjadi objek ilmu-Nya) juga tidak memerlukan sesuatu lain yang mengetahui-Nya. Jadi, Tuhan cukup dengan Zat-Nya sendiri untuk mengetahui dan diketahui. Ilmu (pengetahuan) Tuhan terhadap diri-Nya tidak lain hanyalah Zat-Nya itu sendiri juga. Dengan demikian, ilmu dan Zat yang mempunyai ilmu yang mengetahui dan menjadi objek ilmu-Nya (al-ilmu, al-alim, dnal-ma’lum).
Tuhan sangat puas terhadap keagungan dan kesempuraan Zat-Nya. Oleh karena itu, ia mencintai dan merindukan Zat-Nya sendiri. Dengan demikian, Tuhan itu adalah Zat yang merindukan dan yang dirindukan pula (al-‘asyiq, dan al-ma’syuq).
Teori Al-Farabi yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui alam dan tidak memikirkan pula, yakni tidak menjadikan alam sebagai objek pemikiran-Nya, diambil dari Aristoteles. Pendapat tersebut didasarkan atas anggapan bahwa alam terlalu rendah tingkatannya untuk dijadikan objek pemikiran Tuhan, Zat Yang Mahasempurna dan Mahaagung. Tuhan hanya memikirkan Zat-Nya yang menjadi sebab bagi wujud ala mini. Jadi, pemikiran Tuhan terhadap ala mini tidak langsung, melainkan cukup melalui Zat-Nya, yakni dalam kedudukan-Nya sebagai sebab adanya alam beserta segala peristiwanya. Pendapat Al-Farabi tersebut menjadi dasar filsafat Ibnu Rusyd dan ternyata berpenaruh luas di kalangan dunia pikir islam.
F. Emanasi (Al-Faidh)
Emanasi adalah teori tentang keluarnya suatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajib-ul-wujud (Zat yang mesti adanya; Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori tingkatan wujud”.
Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut akal pertama, yang mengandung dua segi. Pertama, segi hakikatnya sendiri (tabi’at, wahiyya), yaitu wujud yang mumkin. Kedua, segi lain, yaitu wujudnya yang nyata dan yang terjadi karena adanya Tuhan, sebagai Zat yang menjadikan. Jadi, meskipun akal pertama tersebut satu (tunggal), pada dirinya terdapat bagian-bagian, yaitu adanyadua segi tersebut yng menjadi objek pemikirannya. Dengan adanya segi-segi ini, dapatlah dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari akal pertama.
Dari pemikiran akal pertama, dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib (yang nyata) karenaTuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya, maka keluarlah akal kedua. Dari pemikiran akal pertama, dalam kedudukannya sebagai wujud yang mumkin dan mengetahui dirinya, timbullah langit pertama atau benda langit terjauh (as-sama al-ula; al-falak al-a’la) dengan jiwanya sama sekali (jiwa langit tersebut). Jadi, dari dua objek pengetahuan, yaitu dirinya dan wujudnya yang mumkkin, keluarlah dua macam makhluk tersebut, yaitu bendanya benda langit dan jiwanya.
Dari akal kedua, timbullah akal ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap (al-kwakibats-tsbitah) beserta jiwanya, dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada akal pertama.
Dari akal ketiga, keluarlah akal keempat dan planet Saturnus besrta jiwanya. Dari akal keempat keluarlah akal kelima, dan planet Yupiter (Al- Musytara) beserta jiwanya.
Dari akal kelima keluarlah akal keenam dan planet Mars (Mariiah) beserta jiwanya. Dari akal keenam keluarlah akal ketujuh dan matahari (As-Syams) berikut jiwanya.
Dari akal ketujuh keluarlah akal kedelapan dan planet Venus (Az-Zuharah) juga beserta jiwanya. Dari akal kedelapan keluarlah akal kesembilan dan planet Mercurius (Utarid) beserta jiwanya. Dari akal kesembilan keluarlah akal kesepuluh dan bulan (Qamar).
Dengan demikian, dari satu akal keluarlah satu akal pula dan satu planet besrta isinya. Dari akal kesepuluh, sesuai denga dua seginya, yaitu wajib-ul-wujud karena Tuhan, maka keluarlah manusia besrta jiwanya, dan dari segi dirinya merupakan wujud yang mumkin, maka keluarlah unsur empat dengan perantaraan benda-benda langit.
Demikianlah jumlah akal ada sepuluh, sembilan diantaranya untuk mengurus benda-benda langit yang Sembilan, dan akal kesepuluh, yaitu akal bulan, mengawasi dan mengurusi kehidupan dibumi. Akal-akal tersebut tidak berbeda, tetapi merupakan pikiran selamanya. Kalau pada Tuhan, yaitu wujud yang pertama, hanya terdapat satu objek pemikiran, yaitu Zat-Nya saja, pada akal-akal tersebut terdapat dua objek pemikiran, yaitu Tuhan, Zat yang wajib-ul-wujud dan diri akal-akal itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
a. Biografi
Al-Farabi lahir di Wasij Turkistan tahun 257 H (870M) distrik farab (sekarang dikenal dengan kota attar). Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Iran dan menikah dengan seorang wanita Turkestan. Kemudian, ia menjadi perwira tentara Turkestan. Oleh karena itu, Al-Farabi dikatakan berasal dari keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan dari keturunan Iran.
b. Filsafat dan karya-karya Al-Farabi
Dalam filsafat ini ia menerangkan bahwa segala yang ada memancar dari Zat Tuhan melalui akal-akal yang berjumlah sepuluh. Alam materi dikontrol oleh akal .ia juga membahas soal jiwa dan akal manusia. Akal menurut pemikirannya mempunyai tiga tingkat , Al-Hayulani (materi) Bi Al-Fi’l (aktuil) dan Al-Mustafad (adeptus, aquired).
c. Perpaduan Plato dan Aristoteles
Meskipun usaha Al-Farabi tidak berhasil, ia telah membuka pintu perpaduan bagi filosof-filosof islam yang datang sesudahnya. Al-Farabi juga telah mempertemukan agama islam di satu pihak dengan Plato dan Aristoteles di pihak lain.
d. Logika
Logika ialah ilmu tentang pedoman (peraturan) yang dapat menegakkan pikiran dan menunjukkannya pada kebenaran dalam lapangan yang tidak bias dijamin kebenarannya.
e. Metafisika
Wujud yang mumkin atau wujud yang nyata karena yang lainnya (wajib lighairihi).Wujud yang nyata dengan sendirinya (wajib al-wujud lidzatih)
f. Emanasi
Emanasi adalah teori tentang keluarnya suatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajib-ul-wujud (Zat yang mesti adanya; Tuhan)
Selasa, 28 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar