BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bani Umayah berasal dari nama Umayah Ibnu Abdi Syams Ibnu Abdi Manaf, salah satu pemimpin dari kabilah Quraisy. Yang memiliki cukup unsur untuk berkuasa di zaman Jahiliyah yakni keluarga bangsawan, cukup kekayaan dan mempunyai sepuluh orang putra. Orang yang memiliki ketiga unsur tersebut di zaman jahiliyah berarti telah mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan. Umayah senantiasa bersaing dengan pamannya yaitu Hasim Ibnu Abdi Manaf. Sesudah datang agama Islam persaingan yang dulunya merebut kehormatan menjadi permusuhan yang lebih nyata. Bani Umayah dengan tegas menentang Rosulullah, sebaliknya Bani Hasim menjadi penyokong dan pelindung Rosulullah, baik yang sudah masuk Islam atau yang belum.
Bani Umayyah adalah orang-orang yang terakhir masuk agama Islam pada masa Rosulullah dan salah satu musuh yang paling keras sebelum mereka masuk Islam. Awal kedaulatan bagi kedaulatan Bani Umayyah adalah sepeninggal Khalifah Ali ibn Abi Thalib, yang mana gubenur Syam tampil sebagai pemimpin Islam yang kuat. Muawiyah ibn Abu Sufyan ibn Harb yang dulunya gubenur Syam, menggantikan posisi Ali ibn Abi Thalib sebagai pemimpin Islam dengan cara yang bisa dibilang curang, yang waktu itu berawal dari negosiasi antara pihak Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari dengan pihak Muawiyyah yang diwakilkan oleh Amr bin Ash.
Dari hasil negosiasi keduanya menghasilkan kesepakatan untuk menjatuhkan Khalifah Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyyah, kemudian setelah itu dipilihlah seorang khalifah yang baru. Sebagai orang tertua, Abu Musa Al-Asy’ari yang mengawali dalam mengumumkan hasil negosiasi tersebut.
Namun berbeda halnya dengan Abu Musa Al-Asy’ari, Amr bin Ash justru mengumumkan untuk menjatuhkan Khalifah Ali ibn Abi Thalib tetapi menolak untuk menjatuhkan Muawiyyah, dengan kata lain Amr bin Ash mendukung pengangkatan Muawiyyah sebagai pemimpin yang menggantikan Khalifah Ali ibn Abi Thalib. Pada umumnya sejarawan menganggap Muawiyyah secara negatif, karena dari proses keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang saudara di Siffin diperoleh dengan cara arbitrasi yang curang. Lebih dari itu, Muawiyyah juga dituduh sebagai pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam, karena dialah yang mula-mula mengubah pimpinan negara dari seorang yang dipilih oleh rakyat berganti menjadi pewarisan yang turun temurun seperti halnya dengan kerajaan.
Dalam makalah ini akan membahas mengenai peradaban islam pada masa dinasti Umayyah yang terdiri dari pembahasan mengenai sejarah berdirinya dinasti Umayyah kemudian para khalifah dinasti Umayyah , masa kemajuan dinasti Umayyah dan sebab-sebab kemunduran dinasti Umayyah.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah?
b. Siapa saja Para Khalifah Dinasti Umayyah?
c. Bagaimana Masa Kemajuan Dinasti Umayyah?
d. Bagaimana Masa Kehancuran Dinasti Umayyah?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui sejarah berdirinya dinasti Umayyah
b. Untuk mengetahui para khalifah dinasti Umayya
c. Untuk mengetahui masa kemajuan dinasti Umayyah
d. Untuk mengetahui masa kehancuran dinasti Umayyah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah
Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb pada tahun 41 H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132H/750M. Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia adalah seorang tokoh penting ditengah Quraisy pada masa Jahiliyah. Ia dan pamannya Hasyim bin Abdu Manaf selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan.Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang politisi handal dimana pengalaman politiknya sebagai gubernur Syam pada masa khalifah Utsman bin Affan cukup mengantar dirinya mampu mengambil alih kekuasaan dari genggaman keluarga Ali bin Abi Thalib. Tepatnya setelah Husein putra Ali binThalib dapat dikalahkan oleh Umayyah.
Muawiyah disamping sebagai pendiri daulah Bani Abbasiyah juga sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus. Muawiyah dipandang sebagai pembangun dinasti yang oleh sebagian besar sejarawan awalnya dipandang negatif. Keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang saudara di Siffin dicapai melalui cara yang curang. Lebih dari itu, Muawiyah juga dituduh sebagai pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam, karena dialah yang mula-mula mengubah pimpinan negara dari seorang yang dipilih oleh rakyat menjadi kekuasaan raja yang diwariskan turun-temurun (monarchy heredity).
Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. dia menyebutnya “ Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.
Di atas segala-galanya jika dilihat dari sikap dan prestasi politiknya yang menakjubkan, sesungguhnya Muawiyah adalah seorang pribadi yang sempurna dan pemimpin yang berbakat. Di dalam dirinya terkumpul sifat-sifat seorang penguasa, politikus, dan administrator. Muawiyah tumbuh sebagai pemimpin karier. Pengalaman politik telah memperkaya dirinya dengan kebijaksanaan- kebijaksanaan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah seorang pemimpin pasukan dibawah komando Panglima Abu Ubaidah bin Jarrah yang berhasil merebut wilayah Palestina, Suriah, dan Mesir dari tangan Imperium Romawi yang telah menguasai ketiga daerah itu sejak tahun 63 SM. Kemudian Muawiyah menjabat kepala wilayah di Syam yang membawahi Suriah dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus selama kira-kira 20 tahun semenjak diangkat oleh Khalifah Umar. Khalifah Utsman telah menobatkannya sebagai “Amir Al-Bahr” (Prince of the sea) yang memimpin armada besar dalam penyerbuan ke kota Konstantinopel walaupun belum berhasil. Muawiyah berhasil mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya dikarenakan kemenangan diplomasi di Siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali. Melainkan sejak semula gubernur Suriah itu memiliki “basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan.
Pertama, adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan dari keluarga Bani Umayyah sendiri. Penduduk Suriah yang lama diperintah oleh Muawiyah mempunyai pasukan yang kokoh, terlatih, dan disiplin di garis depan dalam peperangan melawan Romawi. Mereka bersama-sama dengan kelompok bangsawan kaya Mekah dari keturunan Umayyah berada sepenuhnya di belakang Muawiyah dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak ada habisnya, baik moral, tenaga manusia, maupun kekayaan. Negeri Suriah sendiri terkenal makmur dan menyimpan sumber alam yang berlimpah. Ditangan lagi bumi Mesir yang berhasil dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran dan suplai bertambah bagi Muawiyah.
Kedua, sebagai seorang administrator, Muawiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tigsa orang patutlah mendapat perhatian khusus, yaitu ‘Amr bin Ash, Mugirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi. Ketiga pembantu Muawiyah merupakan empat politikus yang sangat mengagumkan di kalangan muslim Arab. Akses mereka sangat kuat dalam membina perpolitikan Muawiyah. ‘Amr bin Ash sebelum masuk Islam dikagumi oleh bangsa Arab, karena kecakapannya sebagai mediator antara Quraisy dan suku-suku Arab lainnya jika terdapat perselisihan. Setelah menjadi muslim hanya beberapa bulan menjelang penaklukan Mekah, nabi segera memanfaatkan kepandaiannya itu sebagai pemimpin militerdan diplomat. Tokoh besar ini terutama dikenang sebagai penakluk Mesir di zaman Umar dan menjabat sebagai gubernur pertama di wilayah itu.
Sejak wafatnya Khalifah Utsman, ‘Amr mendukung Muawiyah dan ditunjuk olehnya sebagai penengah dalam peristiwa tahkim. Sayang hanya dua tahun ia mendampingi Muawiyah. Orang kedua ialah Mugirah bin Syu’bah, seorang politikus independen. Karena keterampilan politiknya yang besar, Muawiyah mengangkatnyamenjadi gubernur di Kufah yang meliputi Persia bagian utara, suatu jabatan yang pernah dipegangnya kira-kira satu atau dua tahun semasa pemerintahan Umar. Keberhasilan Mugirah yang utama ialah kesuksesan menciptakan situasi yang aman dan mampu meredam gejolak penduduk Kufah yang sebagian besar pendukung Ali. Sedangkan orang ketiga adalah bernama Ziyad bin Abihi, seorang pemimpin kharismatik yang netral, ditetapkan oleh Muawiyah untuk memangku jabatan gubernur di Basrah dengan tugas khusus di Persia Selatan. Sikappolitiknya yang tegas, adil, dan bijaksana menjamin kekuasaan Muawiyah kokoh di wilayah provinsi paling timur itu yang dikenal sangat gaduh dan sukar diatur.
Ketiga, Muawiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat “hilm”, sifat tertinggi yang dimilikki oleh para pembesar Mekah zaman dahulu. Seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
Gambaran dari sifat mulia tersebut dalam diri Muawiyah setidak-tidaknya tampak dalam keputusannya yang berani memaklumkan jabatan khalifah secara turun-temurun. Situasi ketika Muawiyah naik ke kursi kekhalifahan mengundang banyak kesulitan. Anarkisme tidak dapat lagi dikendalikan oleh ikatan agama dan moral., sehingga hilanglah persatuan umat. Persekutuan yang dijalin secara efektif melalui dasar keagamaan sejak Khalifah Abu Bakar tidak dapat dielakkan dirusak oleh peristiwa pembunuhan atas diri Khalifah Utsman dan perang saudara sesama muslim di masa pemerintahan Ali. Dengan menegakkan wibawa pemerintahan serta menjamin integritas kekuasaan di masa-masa yang akan datang, Muawiyah dengan tegas menyelenggarakan suksesi yang damai, dengan pembaiatan putranya, Yazid, beberapa tahun sebelum khalifah meninggal dunia.
B. Para Khalifah Dinasti Umayyah
Masa kekuasaan Dinasti Umayyah hampir satu Abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14 orang khalifah. Khalifah yang pertama adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, sedangkan khalifah yang terakhir adalah Marwan bin Muhammad. Di antara mereka ada pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di berbagai bidang sesuai dengan kehendak zamannya, sebaliknya ada pula khalifah yang tidak patut dan lemah. Adapun urutan khalifah Umayyah adalah sebagai berikut:
1. Muawiyah I bin Abi Sufyan 41-60H/661-679M
2. Yazid I bin Muawiyah 60-64H/679-683M
3. Muawiyah II bin Yazid 64H/683M
4. Marwan I bin Hakam 64-65H/683-684M
5. Abdul malik bin Marwan 65-86H/684-705M
6. Al-Walid I bin Abdul Malik 86-96H/705-714M
7. Sulaiman bin Abdul Malik 96-99H/714-717M
8. Umar bin Abdul Aziz 99-101H/717-719M
9. Yazid II bin Abdul Malik 101-105H/719-723M
10. Hisyam bin Abdul Malik 105-125H/723-742M
11. Al-Walid II bin Yazid II 125-126H/742-743M
12. Yazid bin Walid bin Malik 126H/743M
13. Ibrahim bin Al-Walid II 126-127H/743-744M
14. Marwan II bin Muhammad 127-132H/744-750M
Para sejarawan umumnya berpendapat bahwa para khalifah terbesar dari daulah Bani Umayyah ialah Muawiyah, Abdul Malik, dan Umar bin Abdul Aziz. Muawiyah bin Abi Sufyan adalah bapak pendiri Dinasti Umayyah. Dialah tokoh pembangun yang besar. Namanya disejajarkan dengan khulafaur rasyidin. Bahkan kesalahannya yang mengkhianati prinsip pemilihan kepala negara oleh rakyat, dapat dilupakan orang karena jasa-jasa dan kebijaksanaan politiknya yang mengagumkan. Muawiyah mendapat kursi kekhalifahan setelah Hasan bin Ali bin Abi Thalib berdamai dengannya pada tahun 41 H. Muawiyah dibaiat oleh umat Islam di Kufah, sedangkan Hasan dan Husain dikembalikan ke Madinah. Hasan wafat di kota Nabi itu pada tahun 50H. Di antara jasa-jasa Muawiyah ialah mengadakan dinas pos kilat dengan menggunakan kuda-kuda yang selalu siap di tiap pos. Muawiyah wafat pada tahun 60 H di Damaskus karena sakit dan digantikan oleh anaknya, Yazid yang telah ditetapkan sebagai putra mahkota sebelumnya.
Penduduk madinah memberontak terhadap Yazid dan memecatnya untuk kemudian mengangkat Abdullah bin Hanzalah dari kaum Anshar. Mereka juga memenjarakan kaum Umayyah di Madinah dan mengusirnya dari kota suci kedua umat Islam itu, sehingga terjadinya bentrok fisik antara pasukan yang dikirim oleh Yazid yang dipimpin oleh Muslim bin Uqbah Al-Murri, dan penduduk Madinah. Peperangan antara kedua pasukan itu terjadi di Al-Harrah yang dimenangkan oleh pasukan Yazid, pada tahun 63 H. Sedangkan kaum Quraisy mengangkat Abdullah bin Muti’ sebagai pemimpin mereka tanpa pengakuan terhadap kepemimpinan Yazid tersebut.
Yazid wafat pada tahun 64 H setelah memerintah 4 tahun dan digantikan oleh anaknya, Muawiyah II. Ia hanya memerintah kurang lebih 40 hari, dan meletakkan jabatan sebagai khalifah tiga bulan sebelum wafatnya. Ia mengalami tekanan jiwa berat karena tidak sanggup memikul tanggung jawab jabatan khalifah yang sangat besar tersebut. Dengan wafatnya, maka habislah riwayat keturunan Muawiyah, dalam melanggengkan kekuasaan dan berganti ke Bani Marwan. Muawiyah II diganti oleh Marwan bin Hakam, seorang yang memegang stempel khilafah pada masa Usman bin Affan yaitu gubernur Madinah di masa Muawiyah dan penasihat Yazid di Damaskus di masa pemerintahan putra pendiri daulah Umayyah itu. Ketika Muawiyah II wafat dan tidak menunjuk siapa penggantinya, maka keluarga besar Umayyah mengangkatnya sebagai khalifah. Abdul Aziz adalah ayah Umar, seorang Khalifah Bani umayyah yang masyhur itu. Marwan menundukan Palestina, Hijaz, dan Irak. Namun ia cepat pergi, hanya sempat memerintah 1 tahun, ia wafat pada tahun 65 H dan menunjuk anaknya, Abdul Malik dan Abdul Aziz sebagai penggantinya sepeninggalannya secara berurutan.
Khalifah Abdul Malik adalah orang kedua yang terbesar dalam deretan yang terbesar dalam deretan para Khalifah Bani Umayyah yang disebut-sebut sebagai ‘Pendiri Kadua’ bagi kedaulatan Umayyah. Ia dikenal sebagai seorang khalifah yang dalam ilmu agamanya terutama di bidang fiqh. Ia telah berhasil mengembalikan sepenuhnya integritas wilayah dan wibawa kekuasaan keluarga Umayyah dari segala pengacau negara yang merajalela pada masa-masa sebelumnya. Mulai dari gerakan separatis Abdullah bin Zubair di Hijaz, pemberontakan kaum Syi’ah dan Khawarij, sampai kepada aksi teror yang dilakukan oleh Al-Mukhtar bin Ubaid As-Saqafy di wilayah Kufah, dan pemberontakan yang dipimpin oleh Mus’ab bin Zubair di Irak.
Khalifah Abdul Malik memerintah paling lama, yakni 21 tahun ditopang oleh para pembantunya yang juga termasuk orang kuat dan menjadi kepercayaannya, seperti Al-Hajjaj bin Yusuf yang gagah berani di medan perang, dan Abdul Aziz, saudaranya yang dipercaya memegang jabatan sebagai gubernur Mesir. Al-Hajjaj bin Yusuf menjadi gubernur wilayah Hujaz setelah menundukkan Abdullah bin Zubair yang memberontak diwilayah tersebut. Selain berjaya di medan perang, Al-Hajjaj berhasil memperbaiki saluran-saluran air sungai Eufrat dan Trigis, memajukan perdagangan, dan memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan keuangan, di samping menyempurnakan tulisan mushaf Al-Qur’an dengan titik pada huruf-huruf tertentu. Khalifah Abdul Malik wafat tahun 86 H dan diganti oleh putranya yang bernama Al-Walid.
Khalifah Al-Walid bin Abdul malik memerintah sepuluh tahun lamanya (86-96H). Pada masa pemerintahannya, kekayaan dan kemakmuran melimpah ruah. Kekuasaan Islam melangkah ke Spayol di bawah pimpinan pasukan Thariq bin Ziyad ketika Afrika Utara dipegang gubernur Musa bin Nushair. Ia membangun Masjid Al-Amawi yang terkenal hingga masa kini di Damaskus. Di samping itu, ia menggunakan kekayaan negerinya untuk menyantuni para yatim piatu, fakir miskin, dan pederita cacat seperti orang lumpuh, buta, dan sakit kusta. Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik wafat tahun 96 H dan digantikan oleh adiknya, Sulaiman sebagaimana wasiat ayahnya.
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik tidak sebijak kakaknya, ia kurang bijaksana, suka harta bagaimana yang diperlihatkan ketika ia menginginkan harta rampasan perang (ghanimah) dari Spanyol yang dibawa oleh Musa bin Nushair. Ia menginginkan harta itu jatuh ke tangannya, bukan ke tangan kakaknya, Al-Walid, yang saat itu masih hidup meskipun dalam keadaan sakit. Musa bin Nushair diperintahkan Sulaiman agar memperlambat kedatangannya ke Damaskus dengan harapan harta yang dibawanya itu jatuh ke tangannya. Namun, Musa tidak melaksanakan perintah Sulaiman tersebut, yang mengakibatkan ia disiksa dan dipecat dari jabatannya, ketika Sulaiman naik menjadi khalifah menggantikan Al-Walid. Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dibenci oleh rakyatnya karena tabiatnya yang kurang bijaksana. Orang-orang yang berjasa dimasa para pendahulunya disiksanya, seperti keluarga Hajjaj bin Yusuf dan Muhammad bin Qasim yang menundukkan India. Ia menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya sebelum meninggal pada tahun 99 H.
Adapun khalifah ketiga terbesar ialah Umar bin Abdul Aziz. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, namun Umar merupakan ‘lembaran putih’ Bani Umayyah dan sebuah periode yang berdiri sendiri, mempunyai karakter yang tidak terpengaruh oleh berbagai kebijaksanaan daulah Bani Umayyah yang banyak disesali. Ia merupakan personifikasi seorang khalifah yang takwa dan bersih, suatu sikap yang jarang sekali ditemukan pada sebagian besar pemimpin Bani Umayyah. Khalifah yang adil itu bernama putra Abdul Aziz, gubernur Mesir. Ia lahir di Hilwan dekat Kairo atau di Madinah. Umar adalah seorang yang rapi dalam berpakaian, memakai wewangian dengan rambut yang panjang dan cara jalan yang tersendiri, sehingga mode Umar itu ditiru banyak orang di masanya. Ia dinikahkan dengan Fatimah, putri Abdul Malik, khalifah Umayyah yang sekaligus pamannya. Ia diangkat menjadi gubernur Madinah oleh Khalifah Al-Wali bin Abdul Malik. Ia diangkat menjadi khalifah menggantikan Sulaiman, adik Al-Walid. Khalifah Umar bin Abdul Aziz berubah tingkah lakunya, ia menjadi seorang zahid, sederhana, bekerja keras, dan berjuang tanpa henti sampai akhir hayatnya yang hanya memerintah kurang lebih 2 tahun.
Khalifah yang adil itu berusaha memperbaiki segala tatanan yang ada di masa kekhalifahannya, seperti menaikan gaji para gubernur, memeratakan kemakmuran dengan memberi santunan kepada fakir dan miskin, dan memperbarui dinas pos. Khalifah Umar meninggal tahun 101 H dan diganti oleh Yazid II bin Abdul Malik (101-105H). Pada masa pemerintahannya timbul lagi perselisihan antara kaum Mudariyah dan Yamaniyah. Pemerintahannya yang singkat itu mempercepat proses kemunduran Umayyah. Kemudian digantikan oleh khalifah Hisyam bin Abdul malik.
Kekhalifahan Umayyah mulai mundur sepeninggal Khalifah umar bin Abdul Aziz. Meskipun tidak secemerlang tiga khalifah yang masyhur, Khalifah Hisyam bin Abdul Malik termasuk sebagai khalifah yang sukses. Ia memerintah dalam waktu yang panjang, yakni 20 tahun (105-!25H). Ia dapat dikategorikan khalifah Umayyah yang terbaik karena kebersihan pribadinya, pemurah, berakhlak mulia, dan tergolong teliti terutama dalam soal keuangan.
Pada masa pemerintahannya terjadi gejolak yang dipelopori oleh kaum Syi’ah yang bersekutu dengan kaum Abbasiyah. Mereka menjadi kuat karena kebijaksanaan yang diterapkan oleh Khlifah Umar bin Abdul Aziz yang bertindak lemah lembut kepada semua kelompok. Dalam diri keluarga Umayyah sendiri terjadi perselisihan tentang putra mahkota yang melemahkan posisi Umayyah. Masih ada empat khalifah lagi setelah Hisyam yang memerintah hanya dalam waktu tujuh tahun, yakni Al-Walid bin Yazid II, Yazid III bin Al-Walid, Ibrahim bin Al-Walid dan Marwan bin Muhammad. Adapun Marwan bin Muhammad adalah penguasa Umayyah terakhir yang terbunuh di Mesir oleh pasukan Bani Abbasiyah pada tahun 132 H/750 M.
C. Masa Kemajuan Dinasti Umayyah
Ekspansi yang sempat terhenti pada masa khalifah Ustman dan Ali oleh dinasti ini kembali dilanjutkan. pada masa pemerintahan Muawiyyah terkenal sebagai era yang agresif karena perhatian terpusat kepada perluasan wilayah, dan kemajuan besarpun hadir dengan berhasilnya perluasan wilayah. Kemajuan Dinasti Umayyah terdapat di masa Muawiyyah bin abi Sofyan sampai pemerintahannya Hiyam bin Abdul Malik 661 M/ 41 H – 743 sedangkan pemerintahan setelahnya hanya menuju kepada kehancuran Muawiyyah.
Pada masa kepemimpinan Muawiyah, Tunisia dapat ditaklukkan. Penaklukkan juga sampai ke daerah Khurasan di sebelah timur sampai sungai Oxus, Afganistan sampai ke Kabul. Selanjutnya, ekspansi tersebut dilanjutkan oleh khalifah Abd Al-Malik, dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawariz, Ferghana, dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind, dan Daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke Barat dilakukan secara besar-besaran pada masa pemerintahan Al-Walid ibn Abdul Malik. Pada masa ini dikenal dengan masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya benua Eropa yaitu pada tahun 771 M. Ekspedisi tersebut dipimpin oleh Tariq bin Ziyad dengan menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko dan benua Eropa. Mereka kemudian mendarat di suatu tempat yang dinamakan dengan Gibraltar (jabal tariq). Tariq berhasil mengalahkan tentara Spanyol dan dapat menguasai Kordova, Seville, Elvira, dan Toledo. Pasukan Islam dapat memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Dalam jangka 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai masuk kedalam kekuasaan Islam, yang meliputi wilayah Spanyol, seluruh wilayah Afrika utara, Jazirah Arab, suriah, Palestina, setengah bagian dari daerah Anatolia, Irak, Persia, Afganistan, India, dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Uzbekistan dan Kirgiztan yang termasuk Sovyet Rusia.
Dengan terbentuknya struktur kepemerintahan yang kuat dan didukung keuangan yang kaya, Dinasti Umayyah banyak meraih kemajuan-kemajuan dan pembaharuan. Diantaranya adalah:
a) Perkembangan di bidang kesusasteraan dan cerita-cerita rismi.
b) Di bidang Ilmiyah, tepatnya pada masa pemerintahan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azis berhasil mentrjemahkan buku-buku kedokteran, ilmu kimia kedalam bahasa Arab (memerintah dari 97-100 H/717-720 M).
c) Di bidang pengembangan ilmu pengetahuan.
d) Arsitektur, di masa “abd al- Malik pada tahun 691 H. Pada masa Bani Umayah bidang arsitektur maju pesat. Terlihat dari bangunan-bangunan artistik serta masjid-masjid yang memenuhi kota. Kota lama pun dibangun menjadi kota modern. Mereka memadukan gaya Persia dengan nuansa Islam yang kental di setiap bangunannya. Adapun pada masa Walid dibangun sebuah masjid agung yang terkenal dengan sebutan Masjid Damaskus yang diarsiteki oleh Abu Ubaidah bin Jarrah.
e) Membuat lambang kerajaan, berupa bendera warna merah.
f) Pembuatan mata uang yang kemudian disebarkan keseluruh punjuru negeri Islam.
g) Pembuatan panti asuhan untuk anak-anak yatim, penti jompo.
h) Pengembangan angkatan laut dengan jumlah 1700 buah.
D. Masa Kehancuran Dinasti Umayyah.
Ciri utama masa Kekhalifahan Umayyah di Damaskus dalam segi sosial adalah kemewahan sebagai akibat kejayaan dalam politik. Sementara itu nilai-nilai keislaman tenggelam oleh nilai-nilai keduniawian, meski semua penampilan secara formal menggunakan simbol-simbol islam. Di samping itu perbudakan merupakan gejala sosial yang umum di kala itu, terutama di kalangan para ningrat.
Meskipun kejayaan telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak bertahan lebih lama, dikarenakan kelemahan-kelemahan, internal dan semakin kuatnya tekanan dari pihak luar negeri. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Bani Umayyah lemah dan membawanya ada kehancuran, yaitu sebagai berikut:
a) Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi arab, yang lebih menentukan aspek senioritas.
b) Latar belakang terbentuknya Bani Umayyah tidak dapat dipisahkan dari berbagai konflik politik di masa Ali.
c) Pada masa kekuasaan Bani Umayyah pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qais) dan Arab Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum islam semakin runcing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan.
d) Lemahnya pemerintahan daulah Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan istana. Sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan.
e) Penyebab langsung runtuhnya kekuasaan Bani Umayyah adalah munculnya kekuasaan baru yang di pelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, dan kaum Mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.
Beberapa penyebab tersebut muncul dan menjadi satu, sehingga akhirnya mengakibatkan keruntuhan Bani Umayyah di susul dengan berdirinya kekuasaan orang-orang Bani Abbasiyah. Demikianlah, Bani Umayyah pasca wafatnya Umar bin Abdul Aziz yang berangsur-angsur melemah. Dinasti Bani Umayyah diruntuhkan oleh Dinasti Bani Abbasiyah pada masa khalifah Marwan bin Muhammad (Marwan II) pada tahun 127 H/744 M.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyyah yang menang diplomasi di Siffin dan juga sebagai akibat terbunuhnya Khalifah Ali ibn Abi Thalib. Namun tidak hanya itu, ada dasar lain yang menjadikan daulah Bani Umaayyah itu lahir. Yakni dukungan yang kuat dari rakyat suriah dan dari keluarga Bani Umayyah sendiri. Mereka dengan kelompok bangsawan kaya makkah dari keturunan Bani Umayyah berada sepenuhnya di belakang Muawiyyah untuk mendukungnya. Dengan sumber kekuatan yang tiada habisnya baik itu kekuatan tenaga manusia ataupun kekayaan, dan juga negeri suriah yang terkenal makmur yang menyimpan sumber alam yang berlimpah tentunya sangat membantu Muawiyyah.
Salah satu kemajuan yang paling menonjol pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah adalah kemajuan dalam system militer. Selama peperangan melawan kakuatan musuh, pasukan arab banyak mengambil pelajaran dari cara-cara teknik bertempur kemudian mereka memadukannya dengan system dan teknik pertahanan yang selama itu mereka miliki, dengan perpaduan system pertahanan ini akhirnya kekuatan pertahanan dan militer Dinasti Bani Umayyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat baik dengan kemajuan-kemajuan dalam system ini akhirnya para penguasa dinasti Bani Umayyah mampu melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke Eropa.
Mu’awiyah sebagai pelopor pertama Dinasti Umayyah juga merubah sistem pemerintahan dari theo demokrasi menjadi sistem kekaisaran atau monarki (yang ia adopsi dari Bizantium dan Persia. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Mu’awiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk sumpah setia kepada anaknya, Yazid bin Mu’awiyah sebagai pengganti dirinya. Dengan mengacu pada sistem monarki ini Dinasti Umayyah telah berhasil mempertahankan kekuasaannya selama kurang lebih 90 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Samsul Munir. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah,
Su’ud Abu. 2003. Islamologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Yatim Badri. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
file:///C:/Users/Personal/Downloads/BAni%20Umayyah/Sejarah%20Peradaban%20Islam%20di%20Masa%20Bani%20Umayyah%20_%20komunikasi_walisongo.htm
file:///C:/Users/Personal/Downloads/BAni%20Umayyah/makalah-kekuasaan-dinasti-umayyah.html
file:///C:/Users/Personal/Downloads/BAni%20Umayyah/dinasti-umayyah-berdirinya-dan.html
Selasa, 28 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar