BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia islam. Oleh karenanya, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang muslim Amerika, Cyiril Glasse dalam buku ensiklopedinya, tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun. Sementara itu, kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di dunia Kristen pun, selama satu millennium, riba adalah barang terlarang dalam pandangan teolog cendekiawan maupaun menurut Undang-Undang yang ada. Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai Negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembangunan uang.
Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba. Sesungguhnya pada yang haram tersebut terkandung mudharat ( bahaya ) yang mengancam jiwa manusia. Tidak ada yang dapat diambil manfaatnya oleh manusia dari sesuatu yang telah di haramkan oleh Allah SWT.
B. Rumusan Masalah
1. Hadist Apa Yang Berkaitan Dengan Riba Fadhl ?
2. Bagaimana Penjelasan Hadist Tentang Riba Fadhl ?
3. Bagaimana Fighul Al Hadist Tentang Riba Fadhl ?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Hadist Yang Berkaitan Dengan Riba Fadhl
2. Untuk Mengetahui Penjelasan Hadist Tentang Riba Fadhl
3. Untuk Mengetahui Fighul Al Hadist Tentang Riba Fadhl
D. Metode
Adapun metode dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan metode library research, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diangkat, kemudian menjadikannya sebuah makalah yang ada pada pembaca saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis Yang Berkaitan Dengan Riba Fadhl
Riba fadhl (riba yang samara, diharamkan karena sebab lain) berasal dari kata al-fadhl, yang berarti tambahan dalam salah satu barang yang dipertukarkan. Riba ini terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda/barang yang sejenis.
Hal ini berdasarkan dari hadist Nabi yang disampaikan Abu Said al-Khudri:
Dari abu Said al-Khudri, bahwasannya Rasulullah saw, bersabda: “ Janganlah engkau jual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau lebihkan sebagiannya di atas sebagian lainnya. Janganlah engkau jual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau lebihkan sebagiannya di atas sebagian lainnya. Dan janganlah engkau jual sebagiannya yang diserahkan dengan kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan dengan kontan.”
B. Penjelasan Hadist
Pensyarahan Rahimahullah Ta’ala mengatakan : sabda beliau ( emas dengan emas ) termasuk di dalamnya semua jenis emas, baik itu yang telah di olah maupun belum, yang kualitasnya baik maupun buruk, yang bagus maupun retak, bentuk perhiasan atau emas mentah ( biji emas ), yang murni maupun campuran. An-Nawawi dan lainnya telah menukilkan terjadinya ijma’ mengenai hal ini. Sabda beliau dan janganlah kalian melebihkan , yakni menambahkan, biasanya digunakan untuk kekurangan. Sedang yang di maksud disini adalah melebihkan. Sabda beliau (barang siapa menambah atau meminta tambahan, berarti telah melakukan riba. Orang yang mengambil dan menerima statusnya sama ), inilah yang merupakan haramnya riba fadhl. Jual Beli antar barang riba, terutama dalam menjual dírham dengan emas atau sebaliknya, hal ini telah disepakati pensyaratan kontannya.
Al Maghribi mengatakan di dalam Syarh Bulugh Al Maram, “ Ulama telah sependapat tentang bolehnya menjual barang riba dengan barang riba yang berbeda fungsinya walaupun dilakukan dengan perbedaan jumlah atau waktu, seperti menjual emas dengan tepung, menjual perak dengan gandum, dan barang lainnya yang di pertukarkan itu sama fungsinya, seperti menjual emas dengan perak atau sebaliknya, maka sebagaimana yang telah disebutkan di muka, bahwa dalam hal ini disyaratkan harus dilakukan secara tunai dan ini sudah merupakan ijma’.
Menurut Ibn Rusyd, hadis diatas melarang pelebihan barang sejenis dalam “tukar menukar” barang-barang tersebut. Kemudian banyak terdapat hadis tentang larangan penundaan riba nasi’ah (tambahan yang sudah ditentukan di awal transaksi, yang diambil oleh si pemberi pinjaman dari orang yang menerima pinjaman sebagai imbalan dari pelunasan bertempo.
Jadi syariat telah menetapkan keharamannya dalam enam hal diantaranya emas, perak, sya’ir, gandum, kurma, dan garam. Dan jika salah satu barang-barang ini diperjual belikan dengan jenis yang sama, maka hal itu diharamkan jika disertai dengan adanya tambahan antara keduanya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Sayid Sabiq bahwa riba fadhl ialah jual beli emas/perak atau jual beli bahan makanan dengan bahan makanan (yang sejenis) dengan ada tambahan.
Riba fadhl diharamkan karena untuk mencegah timbulnya riba nasi’ah, sehingga ia bersifat prefentif. Sebagian Ulama ada yang membedakan antara riba nasi’ah dengan riba fadhl seperti membedakan antara berbuat zina dengan memandang atau memegang wanita yang bukan mahramnya dengan nafsu syahwat. Memandang atau memegang wanita seperti itu diharamkan karena untuk menghindari perbuatan zina. .
Sebagian Ulama ada yang menambahkan selain kedua jenis riba tersebut diatas, yakni riba yad, yaitu riba yang dilakukan karena berpisah dari tempat akad sebelum serah terima terjadi. Kemudian Riba qardi yaitu hutang dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi hutang. Namun secara umum keduanya termasuk kedalam jenis riba nasi’ah dan riba fadhl. Pada dasarnya semua agama sama di dunia (revealed religion) melarang praktek riba, karena dapat menimbulkan dampak bagi masyarakat pada umumnya dan bagi mereka yang terlibat riba pada khususnya.
Riba model ini diharamkan oleh Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan ijma’ umat Islam, di antara hadis yang terkenal adalah hadis riwayat Umar bin al Khatab:
ﻘﺎﻞﺮﺴﻮﻞﺍﻠﻠّﻪﺺ۰ﺍﻠﺬﻫﺐﺒﺎﻠﺬﻫﺐﺮﺒﺎﺍﻻﻫﺎﺀﻮﻫﺎﺀﻮﺍﻠﺒﺮﺒﺎﻠﺒﺮﺮﺒﺎﺍﻻﻫﺎﺀﻮ
ﻫﺎﺀﻮﺍﻠﺸﻌﻴﺮﺒﺎﻠﺸﻌﻴﺮﺮﺒﺎﺍﻻﻫﺎﺀﻮﻫﺎﺀ
Rasulullah saw. Pernah bersabda, “Emas dilunasi dengan emas itu riba, kecuali bila seimbang, gandum dengan gandum juga riba, kecuali bila seimbang pula.”
Tidak boleh terjadi riba nasi’ah pada keenam jenis barang (emas, perak, sya’ir, korma, garam dan gandum). Sebagian ulama fiqh kemudian mencari rahasia disebutnya enam jenis barang tersebut, kalau mungkin analogi dapat diberlakukan terhadapnya. Upaya ini dalam ushul fiqh dikenal dengan penalaran ta’lili (menentukan ‘illat hukum).
Setelah memperhatikan keenam jenis benda tersebut, kesan para ulama berbeda-beda. Golongan Hanafiyyah dan Hanabillah mendapat kesan bahwa emas dan perak merupakan symbol barang tambang, dan keempat jenis benda yang lain merupakan simbol barang yang ditakar. Golongan Malikiyyah dan Syafi’iyyah memperoleh kesan bahwa emas dan perak menjadi symbol uang, sedangkan keempat benda lainnya menjadi symbol “makanan”. Artinya, bagi golongan pertama, hutang benda sejenis yang dapat ditimbang dan ditakar tidak boleh ada kelebihan ketika pelunasan atau pengangsuran. Bagi golongan kedua, kelebihan tidak boleh terjadi pada hutang benda sejenis yang berupa uang atau makanan (termasuk bahan makanan).
Diharamkan riba emas dan perak, menurut Asy Syafi’I, karena benda-benda itu termasuk jenis harga. Kata Abu Hanifah: ‘Illat diharamkan, ialah: Emas dan perak jenis yang ditimbang (diwazankan). Lantaran itu haramlah menjual, atau membeli secara riba dalam segala benda-benda yang ditimbang. Adapun ‘illat dalam empat macam lagi, maka menurut Asy Syafi’I dalam Al Jadid ialah: karena benda-benda itu, jenis makanan. Dari itu haramlah riba pada minyak makanan dan air. Menurut pendapatnya dalam Al Qadim, karena yang demikian, makanan, atau benda-benda yang disukai atau benda-benda yang ditimbang.
Adapun dampak akibat praktek dari riba itu sendiri diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Menyebabkan eksploatasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin, sehingga menjadiakan si kaya semakin berjaya dan si miskin tambah sengsara
2. Dapat menyebabkan kebangkrutan usaha bila tidak disalurkan pada kegiatan-kegiatan yang produktif, karena kebanyakan modal yang dikuasai oleh the haves (pengelola) justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif.
3. Menyebabkan kesenjangan ekonomi, yang pada gilirannya bisa mengakibatkan kekacauan sosial.
Riba dalam Berjual Beli
Kata Ahludh Dhahir: riba itu tidak di’illatkan. Karena itu, riba hanya tertentu dengan yang enam macam itu saja. Kata Abu Hanifah: ‘Illatnya, benda-benda itu disukat pada jenisnya. Jika Malik mangatakan bahwa, ‘Illatnya, makanan yang mengenyangkan dan yang dapat dipergunakan untuk makanan pengenyang dalam jenis makanan-makanan yang disimpan. Dari Ahmad, dalam soal ini diterima dua riwayat, pertama serupa dengan pendapat Asy Syafi’I, kedua serupa dengan pendapat Abu Hanifah. Ibnu Sirin mengatakan, yang menjadi ‘Illat jenis sendirinya.
“Tidak dibolehkan kita menjual, emas dengan emas, perak dengan perak, baik masih terurai, maupun sudah ditempa, atau belum ditempa, atau sudah menjadi perhiasan, terkecuali seimbang benar, serupa benar dan tunai (kontan).”
Hokum ini disepakati oleh para Mujtahidin. Mengingat itu, tidak boleh kita menjual sesuatu yang dari tersebut (emas atau perak) jika salah satunya tidak sama-sama hadir ketika menjualbelikan itu.
“ kita boleh menjual emas dengan perak dengan emas dengan berlebih kurang.” (hukum ini disepakati oleh Mujtahidin)
“ Tidak boleh kita menjual gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, korma dengan korma, garam dengan garam, apabila disukai (ditimbang), terkecuali jika sama banyak dan tunai (kontan).”Hukum ini juga disepakati oleh para Mujtahidin.
Sedangkan pendapat Malik dan Ahmad
“ Kita boleh menjual korma dengan korma, garam dengan korma, belebih kurang, asal saja kontan (tunai) dan penjual pembeli tidak berpisah dari majelis penjualan sebelum masing-masing menerima haknya.”
Dalam pada itu Abu Hanifah berkata: Boleh mereka berpisah sebelum menerima.
“ Tidak boleh menjual emas yang sudah dijadikan perhiasan dengan emas yang baru ditempa saja, kalau berlebih kurang.”
Malik mengatakan, kita boleh menjualnya dengan harganya dari sejenisnya. Dan tidak boleh berpisah sebelum masing-masing menerima haknya.
“ Tidak boleh penjual pembeli berpisah sebelum masing-masing menerima haknya dalam penjualan makanan dengan makanan dengan makanan.”
Kata Abu Hanifah: keharaman yang demikian tertentu dengan emas dan perak saja. Ini yang mesti diterima masing-masing sebelum berpisah. Jenis sendirinya mengharamkan tangguhan.
“segala yang lain dari emas perak, makanan daan minuman tidak diharamkan riba, yakni tidak diharamkan tangguh, berlebih kurang dan berpisah sebelum masing-masing menerima.”
Malik berkata: gandum dengan syair, dihukum satu jenis. Mengenai daging-daging dan susu-susu diperoleh dua pendapatdari Asy Syafi’i. Yang lebih shahih, daging-daging itu dihukum berjenis-jenis. Pendapat ini disetujui Abu Hanifah. Maka tidak ada riba pada besi, timah dan yang menyerupai. Menurut Malik dan Asy Syafi’i: karena ‘Illat emas dan perak, barang itu dijadikan harga. Kata Abu Hanifah dan Ahmad: Riba itu berlaku juga pada timah, tembaga dan yang menyerupainya.
“Persamaan pada barang yang disukat dan yang ditimbang menggunakan sukatan Hijaz dan timbangannya. Yang tidak menghendaki cara tersebut, dipergunakan adat negeri penjualan itu.”
Kata Abu Hanifah, terhadap hal-hal yang tidak dinashkan, yakni tidak ditetapkan harus kita memakai sukatan, atau timbangan Hijaz, hendaklah kita pergunakan sukatan tempat kita sendiri.
“ Segala yang terhadapnya haram riba, tidak boleh dijual setengahnya dengancara penaksiran saja, terkecuali dalam penjualan araja saja.”
Pendapat Malik, Boleh kita menjual yang demikian dengan cara-cara ditaksir-taksir saja banyaknya dalam menjual sesuatu yang disukat, kalau penjualan itu berlaku di desa-desa. Dalam urusan yang ditimbang, tidak dibolehkan sekedar taksira saja.
“Tidak boleh dijual dua macam benda dari jenis yang satu yang berbeda harganya dengan salah satu macamnya, seperti menjual satu mud korma dan satu dirham dengan dua mud korma.”
Apabila terjadi barter barang yang sejenis dari empat jenis barang (emas, perak, gandum, dan korma ), yaitu emas ditukar dengan emas, tamar dengan tamar, maka haram tambahannya baik secara riba fadhl maupun secara riba nasiah, harus sama baik dalam hal timbangan maupun takarannya, tanpa memperhatikan kualitasnya bermutu atau jelek, dan harus diserah terimakan dalam majlis.
Dari Abu Sa’id ra, beliau bertutur: Kami pada masa Rasulullah saw pernah mendapat rizki berupa tamar jama’, yaitu satu jenis tamar, kemudian kami menukar dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar. Lalu kasus ini sampai kepada Rasulullah saw maka Beliau bersabda, “Tidak sah (pertukaran) dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar, tidak sah (pula) dua sha’ biji gandum dengan satu sha’ biji gandum, dan tidak sah (juga) satu Dirham dengan dua Dirham.”
Manakala terjadi barter diantara jenis barang (emas, perak, sya’ir, korma dan gandum) dengan lain jenis, seperti emas ditukar dengan perak, bur dengan sya’ir, maka boleh ada kelebihan dengan syarat harus diserah terimakan di Majlis. Berdasar hadis Abu Ubaidah:
“tetapi jika berlainan jenis maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.”
Dalam riwayat Imam Abu Daud dan lainnya dari Ubaidah ra Nabi saw bersabda: “Tidak mengapa menjual emas dengan perak dan peraknya lebih besar jumlahnya daripada emasnya secara kontan, dan adapun secara kredit, maka tidak boleh; dan tidak mengapa menjual bur dengan sya’ir dan sya’irnya lebih banyak daripada burnya secara kontan dan adapun secara kredit, maka tidak boleh.”
Al-Amir ash-Sha’ani menyatakan. “Ketahuilah bahwa para ulama’ telah sepakat atas bolehnya barang ribawi (barang yang bisa ditakar atau ditimbang) ditukar dengan barang ribawi yang berlainan jenis, baik secara bertempo meskipun ada kelebihan jumlah atau berbeda beratnya, misalnya emas ditukar dengan hinthah (gandum), perak dengan gandum, dan lain sebagainya yang termasuk barang yang bisa ditakar. Namun, tidak boleh menjual ruthab (kurma basah) dengan kurma kering, kecuali para pemilik ‘ariyah, karena mereka adalah orang-orang yang faqir yang tidak mempunyai pohon kurma, yaitu mereka boleh membeli kurma basah dari petani kurma, kemudian mereka makan dalam keadaan masih berada di pohonnya, yang mereka taksir, mereka menukarnya dengan kurma kering .
Dan tidak sah jual beli barang ribawi dengan yang sejenisnya sementara keduanya atau salah satunya mengandung unsur lain. Riwayat Fadhalah bin Ubaid yang menjadi landasan kesimpulan ini dimuat juga dalam Mukhtashar Nailul Authar hadits no: 2904. Imam Asy-Syaukani, memberi komentar sebagai berikut, “Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjual emas yang mengandung unsur lainnya dengan emas murni hingga unsur lain itu dipisahkan agar diketahui ukuran emasnya, demikian juga perak dan semua jenis barang ribawi lainnya, karena ada kesamaan illat, yaitu haram menjual satu jenis barang dengan sejenisnya secara berlebih.
Dari Fadhalah bin Ubaid ia berkata: “Pada waktu perang Khaibar aku pernah membeli sebuah kalung seharga dua belas Dinar sedang dalam perhiasan itu ada emas dan permata, kemudian aku pisahkan, lalu kudapatkan padanya lebih dari dua belas Dinar, kemudian hal itu kusampaikan kepada Nabi saw, Maka Beliau bersabda, “Kalung itu tidak boleh dijual hingga dipisahkan.”
Riba di haramkan baik dalam al-quran maupun hadis, berikut hadis yang melarang dan mengecam praktik riba dengan kata-kata yang tegas dan jelas. Dalam hadis ini tersebut dikatakan dengan jelas tentang laknat bagi pelaku riba. Rasulullah Saw melaknat pemakan riba, pemberinya, penulisnya, kedua saksinya mereka semua sama. Nabi SAW bersabda : “riba itu sekalipun dapat menyebabkan bertambah banyak, tetapi akibatnya akan berkurang”
Hal-hal yang menimbulkan riba
Jika seseorang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba menurut jenisnya seperti seseorang menjual salah satu dari dua macam mata uang, yaitu emas dan perak dengan yang sejenis atau bahan makanan seperti beras dengan beras, gabah dengan gabah dan yang lainnya, maka disyaratkan:
1. Sama nilainya (tamasul).
2. Sama ukurannya menurut syara’, baik timbangannya, takarannya maupun ukurannya.
3. Sama-sama tunai (taqabuth) di majelis akad.
Ayat dan Hadis Yang Melarang riba
ﻮَﺃﺣَﻝََّﷲُﺍﻠْﺑَﻴْﻊَﻮَﺣَﺭَّﻡَﺍﻠﺭﱢﺑﺎَ
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al-Baqarah : 275)
Firman Allah dalam Q.S Ar-Rum : 39
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”
Firman Allah Q.S Al-Baqarah : 278-279
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya
إﻥّﺍﺑﻥﻋَﻥَﻋَﺑّﺎﺲٍﻗَﺎﻝَﻣَﺎﻛَﺎﻥَﺍﻠﺭﱢﺑَﺎﻓِﻴْﻬَﺎﻭَﻫَﺎﺕٍ
“Ibnu Abbas berkata,tak ada riba sesuatu yang dibayar tunai.” (Riwayat Ahmad)
Firman Allah Q.S Ali Imran : 130
ﻴﺎﺃﻴّﻬﺎﺍﻟّﺬﻴْﻦﺍٰﻣﻧﻮﺍﻻﺗﺄﮐﻟﻮﺍﺍﻟﺭﱢﺑﺎﺃﺿﻌﺎﻓﺎﻣﺿﺎﻋﻔﺔﻮﺍﺘّﻘﻮﺍﺍﻟﻟﻪﻟﻌﻟﻜﻢﺘﻔْﻟﺤﻮﻦ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Ancaman bagi pelaku riba dijelaskan pula dalam Q.S An-Nisa': 29
"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan dari antara kamu."
Allah telah memproklamirkan perang untuk memberantas riba dan orang-orang yang meribakan harta serta menerangkan betapa bahayanya dalam masyarakat, sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi:
"Apabila riba dan zina sudah merata di suatu daerah, maka mereka telah menghalalkan dirinya untuk mendapat siksaan Allah." (Riwayat Hakim; dan yang seperti itu diriwayatkan juga oleh Abu Ya'la dengan sanad yang baik)
Hadis ini merupakan ancaman bagi orang yang melakukan praktik riba, bahwa riba memang dapat mendatangkan keuntungan besar bagi pelakunya, tetapi suatu saat tidak akan mendapatkan berkah dari Allah SWT, sehingga pada akhirnya akan berkurang. Dalam alquran ditegaskan bahwa Allah SWT akan memusnahkan harta yang di peroleh dengan cara riba dan menghilangkan keberkahannya.
C. Fighul Al Hadist
Riba termasuk dosa besar. Baik pemberi, penulis dan dua saksi riba adalah sama dalam dosa dan maksiat dengan pemakan riba. Tidak boleh bagi seorang Muslim mengokohkan transaksi riba. Dianjurkan (bahkan wajib) bagi kaum Muslimin untuk mendirikan bank Islam sesuai dengan syari’at agama, dan menghindarkan dari segala macam bentuk/praktek riba. Tidak boleh bagi seorang muslim, baik kaya atau fakir untuk berhutang kepada bank, atau lainnya dengan bunga 5 % atau 15 % atau lebih atau kurang dari itu. Karena itu adalah riba, dan termasuk dosa besar. Dan Allah telah mencukupkan baginya dengan jalan-jalan mencari rezeki yang dihalalkan, baik menjadi tenaga kerja di tempat orang yang memiliki pekerjaan atau mendaftarkan diri menjadi pegawai negeri pada jabatan yang halal, atau berdagang dengan modal orang lain dengan sistem mudharabah dengan bagi hasil dalam persentase tertentu atau yang telah disepakati.
Islam bersikap sangat keras dalam persoalan riba semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlak, masyarakat maupun perekonomiannya.Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsir Qurannya sebagai berikut:
1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi Muhammad SAW:
2. Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya.Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.
3. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan memudahkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan masyarakat. Satu hal yang tidak dapat disangkal lagi bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.(Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).
4. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan. (dipandang dari segi etika).
5. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah. (ditinjau dari segi sosial).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Barang-barang yang berlaku riba padanya ialah emas, perak, dan makanan yang mengenyangkan atau yang berguna untuk yang mengenyangkan, misalnya garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama jenisnya seperti emas dengan emas, gadum dengan gadum, diperlukan tiga syarat: (1) tunai, (2) serah terima, dan (3) sama timbangannya. Kalau jenisnya berlainan, tetapi ‘ilat ribanya satu, seperti emas dengan perak, boleh tidak sama timbangannya, tetapi mesti tunai dan timbang terima. Kalau jenis dan ‘ilat ribanya berlainan seperti perak dengan beras, boleh dijual bagaimana saja seperti barang-barang yang lain; berarti tidak diperlukan suatu syarat dari yang tiga itu.
Jual beli emas dengan emas, perak dengan perak dan lain-lain adalah haram kecuali sepadan, ataupun ditunaikan terlebih dahulu. Riba (termasuk bunga bank) adalah termasuk dosa besar. Baik pemberi, penulis dan dua saksi riba adalah sama dalam dosa dan maksiat dengan pemakan riba. Tidak boleh bagi seorang Muslim mengokohkan transaksi riba. Dianjurkan (bahkan wajib) bagi kaum Muslimin untuk mendirikan bank Islam sesuai dengan syari’at agama, dan menghindarkan dari segala macam bentuk/praktek riba
DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, Hendi.2010.Fiqih Muamalah.Jakarta;PT Raja Grafindo Persada.
Zuhri, Muh.1997.Riba dalam Al Qur’an dan Masalah Perbankan (Sebuah Tilikan Antisipatif).Jakarta;PT Raja Grafindo Persada.
Ash Ashidieqy, Teungku Muhammad Hasbi.1997.Hukum-Hukum Fiqh Islam.Semarang;PT Pustaka Rizki Putra.
http:///neujik.blogspot.com/makalah riba/html/di unduh pada tanggal 8 november 2012
http:///blogger Lombok/makalah riba/html/di unduh pada tanggal 7 november 2012.
http:///de-kill.blogspot.com/riba dalam islam.html/di unduh pada tanggal 7 november 2012
Selasa, 28 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
terimakasih informasinyaa :)
BalasHapusmakasih sis
BalasHapus