BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istishhab secara harfiah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut istilah Ulama Ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya. Atau menetapkan hokum yang ditetapkan pada masa lalu secara abadi berdasarkan keadaan hingga terdapat dalil yang menunjukkan adanya perubahan.
Karena, jika Mujtahid berhadapan dengan pertanyaan mengenai kontrak atau pemeliharaan yang tidak ditemukan nashnya dalam Al-Quran serta As-sunnah atau tidak ada dalil syara’ yang mutlak hukumnya maka konrak atau pemeliharaan itu hukumnya dibolehkan.berdasarkan kaidah bahwa asal sesuatu itu adalah boleh (mubah), dalam segala sesuatu yang telah Allah ciptakan diduni ini. Karenanya, jika tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya perubahan, maka sesuatu itu hukumnya boleh, (mubah) sesuai dengan sifat kebolehan pada asalnya.
Istishab merupakan salah satu sumber hukum islam yang dipakai acuan dalam istimbath hukum islam, selain al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Qaul Shahabi, Qiyas, Istihsan, Maslahah Mursalah, ‘Urf, dan lain-lain. Perlu kita jelaskan beberapa masalah yang berkaitan dengan sumber-sumber hukum islam diatas.
1. Bahwa sumber-sumber hukum islam diatas tidaklah menjadi kesepakatan para ulama. Tetapi ada sebagian yang diperselisihkan, baik dalam hal pengertianya maupun dalam hal dijadikanya sebagai sumber hukum islam.
2. Bahwa sebagian dari sumber-sumber hukum islam diatas ada yang bersifat naqli, yaitu: al-Qur’an, hadits, Ijma’, qaul shahabi, ‘urf. Dan ada juga yang bersifat aqli, yaitu: Qiyas, maslahah mursalah, istihsan, istishab.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kehujjahan Istishhab itu ?
2. Bagaimana Pandangan Ulama Tentang Istishhab ?
C. Tujuan Penulisan
1.Untuk Mengetahui Kehujjahan Istishhab
2. Untuk Mengetahui Pandangan Ulama tentang Istishhab
D. Metode Penulisan
Adapun metode dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan metode library research, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diangkat, kemudian menjadikannya sebuah makalah yang ada pada pembaca saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kehujjahan Istishhab
Istishhab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama ushul berkata,” sesungguhnya istishhab adalah akhir tempat beredarnya fatwa”. Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka.
Seperti dikemukakan oleh Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa bahwa ulama dibagi menjadi dua dalam menentukan kehujjahan istishab. ulama yang menerimanya dan ulama yang menolaknya. ulama yang menerima istishab sebagai hujjah berargumen bahwa dalam muamalah dan pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat yang sudah berlaku diantara mereka. ia dapat dijadikan dasar untuk menentukan hokum tersebut selama tidak ada dalil yang merubahnya. rujukan tekstualnya adalah al-Qur’an (QS. Al-Baqarah ayat 29). ulama yang menerima istishab dapat dibedakan menjadi tiga:
a) Jumhur ulama yang dipelopori oleh imam malik, sebagai ulama Syafi’iyah, dan Hanafiah berpendapat bahwa istishab dapat dijadikan hujjah Syar’iyyat ketika tidak ada dalil dari al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. hukum yang ada tetap berlaku sepanjang belum ada dalil yang merubahnya.
b) Sebagian ulama hanafiah dan sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa istishab bukanlah dalil untuk menentukan hukum yang sekarang; ia sekedar mengetahui hukum masa lalu sedangkan untuk menentukan hukumnya sekarang ini. ia memerlukan dalil.
c) Kebanyakan ulama hanafiah berpendapat bahwa istishab adalah untuk menentukan (dirinya sendiri) dan bukan untuk menetapkan yang lain. ulama ini menolak istishab akal.
Sedangkan ulama yang menolak kehujjahan istishab berargumen bahwa penentuan halal, haram, sucinya sesuatu memerlukan dalil yang dalil itu tidak didapat kecuali dari “Syari”. Dalil syar’iy terdapat dalam nash al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Kalau tidak ditemukan sesuatu perbuatan atau perjanjian baik dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah atau dalil syara’ yang lainya maka perjanjian atau perbuatan itu dianggap mubah berdasarkan asal segala sesuatu itu mubah selama belum ada dalil yang menunjukkan hukumnya berubah. umpamanya hukum daging binatang, benda, tumbuh-tumbuhan; makanan atau perbuatan yang tidak diterangkan hukumnya oleh syara’ maka ditetapkan mubah karena mengingat asal segala sesuatu itu mubah.
Istishab dijadikan salah satu dalil syara’ menurut mazhab Syafi’i. dan diantara contoh hukum yang bersumber dari istishab umpamanya si A telah diketahui dengan pasti menikah dengan si B maka kedua orang tadi masih dianggap sebagai suami istri selama tidak ditemukan bahwa mereka berdua telah bercerai.
Seorang yang sudah berwudhu kemudian timbul was-was bahwa ia terasa kentut, maka ditetapkan bahwa ia masih dalam keadaan suci selama tidak ditemukan bukti bahwa ia batal seperti bunyi kentut atau bau kentutnya. demikianlah setiap yang sudah diyakini adanya dianggap akan tetap ada sampai ada bukti yang menunjukkan perubahnya dan sebaliknya yang sudah diyakini tidak ada, ditetapkan tidak ada sampai ada bukti yang menunjukkan adanya.
Sedangkan Kalangan hanafiyah dan malikiyah berpendapat bahwa istishab ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru. Dalam contoh diatas, orang yang hilang itu meskipun ia masuh dianggap masih hidup, yang dengan itu istrinya masih dianggap sebagai istrinya dan hartanya juga masih berstatus sebagai miliknya sebagai orang yang masih hidup, namun jika ada ahli waris yang wafat, maka khusus kadar pembagiannya harus disimpan dan balum dapat dinyatakan sebagai haknya sampai terbukti ia masih hidup. Jika terbukti ia telah wafat daan ternyata lebih dulu wafatnya dibandingkan warisnya maka kadar pembagiannya yang disimpan dibagi antara ahli waris yang ada. Alasan mereka karena keadaannya masih hidup semata-mata didasarkan atas dalil istishab yang berupa dugaan, bukan hidup secara fakta.
Seorang manusia yang hidup tetap dihukumi atas hidupnya dan pengelolaan atas kehidupan ini diberikan kepadanya sampai terdapat dalil yang menunjukkan adanya keputusaan tentang kematiannya. Setiap orang mengetahui wujud sesuatu, maka dihukumi wujudnya sampai terdapat dalil yang meniadakannya, dan barang siapa mengetahui ketiadaanya sesuatu, maka dihukumi dengan ketiadaanya sampai terdapat dalil yang menunjukkan keberadaannya.
Hukum telah berjalan menurut keadaan ini. Jadi, suatu kepemilikan misalnya, tetap menjadi milik siapa saja berdasarkan sebab beberapa kepemilikannya. Maka kepemilikkan itu dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghilangkan kepemilikan tersebut. Begitu juga kehalalan pernikahan bagi suami-istri sebab akad pernikahan dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskan kehalalan itu. Demikian pula halnya dengan tanggungan karena utang piutang atau sebab ketetapan apa saja, dianggap tetap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskannya. Tanggungan yang telah dibebaskan dari orang yang terkena tuntutan utang piutang atau ketetapan apa saja, dianggap bebas sampai ada ketetapan yang membebaskannya. Singkatnya, asal sesuatu itu adalah ketetapan sesuatu yang telah ada, menurut keadaan semula sampai terdapat sesuatu yang mengubahnya.
Istishhab juga telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syariat, antara lain sebagai berikut,” asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya”. Sesuai dengan kaidah yang artinya; “asal segala sesuatu itu adalah kebolehan.” Pendapat yang dianggap benar adalah istishhab biasa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalillah yang telah menetapkan hukum tersebut. Istishhab itu tiada lain adalah menetapkan dalalah dalil pada hukumnya.
Istishab itu lain dari dalil syar’i yang menjadi dasar bagi mujtahid untuk mengetahui hukum, tentang apa yang dikemukakan kepadanya. Ahli ushul mengatakan, selain dari lingkungan fatwa dan hukum terhadap sesuatu itu, maka tetap demikian adanya, sebelum ada dalil yang mengubahnya. Seseorang itu tetap dianggap hidup dimana dia berada, sebelum ada keterangan yang jelas yang mengatakan bahwa atas kematiannya itu. Seseorang itu tetap dianggap mengetahui yang berlaku dimana dia berada. Orang tahu bahwa Sipolan adalah isteri Sipolan.
Hal ini dibuktikan dengan perkawinannya itu, sebelum adanya perceraian atas perkawinan itu. Setiap orang dianggap tahu perbuatan hukum, sebelum adanya bukti atas tidak adanya itu. Sebaliknya, orang dianggap tahu tidak adanya perbuatan hukum, sebelum dikemukakan bukti atas adanya itu. Berdasar disekitar inilah hukum itu. Hak milik itu tetap dianggap tetap bagi siapa saja dengan salah satu sebab yang dapat dipertahankan sebelum ditetapkan apa yang menghilangkan hak milik tersebut. Persetubuhan itu dianggap halal bagi suami isteri dengan adanya akad nikah, sebelum ada keterangan untuk membubarkan perkawinan itu.
Perjanjian yang bersangkut dengan utang-piutang dianggap pasti sebelum ada bukti atas hapusnya utang-piutang tersebut. Tanggungan utang dan orang yang menanggung itu tetap diakui sah sebelum ada bukti lepasnya tanggungan itu, asalnya adalah tetap sedemikian rupa sebelum ditetapkan apa yang mengubahnya.
Berdasarkan istishab inilah dibina pasal 180 peraturan pemerintah yang disusun oleh pengadilan syari’at, berbunyi: cukup seorang saksi pada utang, jika tidak ditetapkan terang-terangan dalam pengakuan oleh yang berhutang. Disini diperlukan saksi mata, pasal : 181, bebunyi: cukup seorang saksi dalam wasiat, atau yang diwasiatkan pada waktu meninggalnya.
Berdasarkan Istishab ini, beberapa prinsip syara’ dibangun yaitu:
Asal sesuatu adalah ketetapan sesuatu yang telah ada menurut keadaan semula, sehingga terdapat ketetapan yang merubahnya.
Asal segala sesuatu adalah kebolehan.
Sesuatu yang tetap sebab keyakinan tidak hilang sebab keragu-raguan.
Asal pada manusia adalah kebebasan.
Sebenarnya pengakuan terhadap Istishab itu sendiri sebagai dalil atas hukum adalah penetapan secara majazi. Karena sesungguhnya dalil pada hakikatnya adalah dalil yang menjadi ketetapan hukum yang terdahulu. Istishab tidak lain adalah menetapkan pengertian dalil tersebut kepada hukumnya. Ulama Hanafiah menetapkan bahwasannya Istishab dalah hujjah untuk mempertahankan, bukan untuk membuktikan. Maksud mereka dengan pertanyaan tersebut ialah: bahwasannyan Istishab merupakan hujjah atas tetapnnya sesuatu pada keadaan semula, dan menolak sesuatu yang menentang itu. Ia bukanlah suatu hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap.
Hal ini dijelaskan oleh sesuatu yang telah mereka tetapkan berkenaan dengan orang yang Mafqud, yaitu orang yang hilang, yang tidak diketahui tempatnya, tidak pula diketahui hidup maupun matinya. Orang yang hilang ini dihukumi sebagai orang yang masih hidup berdasarkan kelangsungan keadaan yang telah diketahui sehingga ada dalil yang menunjukkan kematiannya. Istishab yang menunjukkan kehidupannya ini merupakan hujjah untuk menolak dakwaan kematiannya, pewarisan terhadap hartanya dan pembatalan perjanjian sewa-menyewanya, serta pentalakan isterinya. Akan tetapi ia bukanlah hujjah untuk menetapkan hak warisnya dari lainnya, karena kehidupannya yang tetap berdasarkan Istishab adalah kehidupan yang bersifat anggapan, bukan hakikinya.
Diatas istishab itu dibina prinsip-prinsip syar’i, antara lain: Asalnya adalah tetap adanya, sebelum ditetapkan apa yang mengubahnya. Asal sesuatu itu diperbolehkan., yang tidak ditetapkan dengan yakin itu selalu diragukan. Asal seseorang itu bebas berbuat . Jika Istishab itu menyediakan dirinya menjadi dalil terhadap hukum, dalam hal ini diperbolehkan karena dalil itu pada hakikatnya ialah dalil yang ditetapkan oleh hukum yang berlaku Istishab itu tidak lain selain dari mengekalkan dalil atas hukumnya itu. Ulama-ulama Hanafi menetapkan bahwa Istishab itu adalah hujjah untuk menolak, bukan untuk menetapkan.
Yang mereka maksudkan dengan ini ialah hujjah untuk mengekalkan apa yang sudah ada. Dan menolak apa yang berlainan dengannya itu. Bukan merupakan hujjah untuk menetapakn hal yang tidak tetap. Ini jelas dari apa yang telah mereka tetapkan dalam hal kehilangan. Yaitu, hilangnya seseorang itu dan tidak diketahui hidup atau matinya. Maka orang yang hilang ini menurut hukum, dianggap masih hidup sebelum adanya keterangan jelas atas meninggalnya orang tersebut. Istishab inilah yang menunjukkan atas hidupnya, dan menjadi hujjah menolaknya tuduhan orang atas meninggalnya. Begitu juga dalam warisan. Dan membatalkan sewa-menyewanya yang dilakukannya. Orang yang menceraikanisterinya tetapi bukan merupakan hujjah untuk menetapkan warisannya itu tanpa dia. Karena hidupnya masih menurut anggapan, bukan merupakan hakikat yang sebenarnya.
B. Pandangan Ulama Tentang Istishhab
Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa istishhab merupakan hujjah mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka. Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa istishhab merupakan ketetapan sesuatu, yang telah ada menurut keadaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaanya.
Berbeda dengan jumhur ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliah,Zhahiriyyah, dan Syi’ah memandang istishhab dapat dijadikan dalil hukum secara mutlak. Maka bagi jumhur ulama, orang hilang dapat menerima hak-haknya yang ada pada masa lalu yang muncul setelah hilangnya. Mayoritas ulama kalam menolak istishhab sebagai hujjah syariat, karena suatu yang diterapkan pada masa lalu harus dengan dalil sebagai mana hukum yang diterapkan pada masa sekarang dan akan datang. Sementara itu, ulama muta’akhirin ,Hanafiyyah berpendapat, istishhab hanya dapat diterapkan untuk melestarikan hukumyang telah ada pada masa lalu, tidak dapat diberlakukan pada hukum baru yang belum ada sebelumnya, misalnya orang hilang hanya dapat menerima haknya pada masalalu, tetapi tidak dapat menerimanya setelah ia hilang.
Telah masyhur bahwa istishhab itu adalah hujjah pada posisi Syafi’i dan tidak hujjah, pada sisi Hanafi. Jadi pada madzab Hanafi, orang yang syak tentang wudlu yaitu, wajiblah dia berwudlu.
Istishhab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap. Telah dijelaskan tentang penetapan orang yang hilang atau tidak diketahui tempat tinggalnya dan tempat kematiannya, bahwa orang tersebut ditetapkan tidak hilang dan dihukumi sebagai orang hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukkan kematiannya.
Istishab-lah yang menunjukkan atas hidupnya orang tersebut dan menolak kematiannya serta warisan harta bendanya juga pernikahannya. Tetapi hal itu bukanlah hujjah untuk menetapkan pewaris dari lainnya, karena hidup yang ditetapkan menurut istishhab itu adalah hidup yang didasarkan pengakuan.
Ulama mazhab Hanafi dan Maliki menganggap orang berpegang pada Istishhab seperti Mu’taridh (menolak) perubahan. Karenanya, ia tidak bisa menerima hak-hak baru. Namun hak-hak yang lama masih tetap berada ditangannya. Sedangkan ulama mazhab Syafi’I dan Hanbali menjadikan Istishab sebagai dalil Mu’aridh (yang melawan) dan menetapkan, yang tidak hanya menentang belaka.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Istishhab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama ushul berkata,” sesungguhnya istishhab adalah akhir tempat beredarnya fatwa”. Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka. Berdasarkan Istishab beberapa prinsip syara’ dibangun antara lain:
Asal sesuatu adalah ketetapan sesuatu yang telah ada menurut keadaan semula, sehingga terdapat ketetapan yang merubahnya.
Asal segala sesuatu adalah kebolehan.
Sesuatu yang tetap sebab keyakinan tidak hilang sebab keragu-raguan.
Asal pada manusia adalah kebebasan.
Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa istishhab merupakan hujjah mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka. Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa istishhab merupakan ketetapan sesuatu, yang telah ada menurut keadaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaanya.
Mayoritas ulama kalam menolak istishhab sebagai hujjah syariat, karena suatu yang diterapkan pada masa lalu harus dengan dalil sebagai mana hukum yang diterapkan pada masa sekarang dan akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli,A dan Nurol Aen.2000.Ushul Fiqih Metodologi Hukum Islam.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
Effendi,Satria.2009.Ushul Fiqih.Jakarta:Kencana.
Khallaf,Abdul wahhab.1994.Ilmu Ushul fiqih.Semarang:Dina Utama.
Syafe’i,Rachmat.1999.Ilmu Ushul Fiqih.Bandung:Pustaka Setia.
Zahrah,Muhammad Abu.1994.Ushul Fiqih.Jakarta:PT Pustaka Setia.
http://blogspot.com/masalah-istishab.html/ di unduh pada tanggal 8 November 2012
Selasa, 28 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar